Rabu, 02 Desember 2009

Natal Asrama STT Walter Post Jayapura

Tanggal 1 Desember kemarin mahasiswa STT Walter Post Jayapura yang tinggal di asrama mengadakan natal. “Putra Natal Melukis Kita Dalam Tangan Kasih” menjadi tema dalam perayaan natal tahun ini. Ibadah natal yang dimulai jam 5:00 itu berjalan dengan baik hingga akhir. Pdt.Yusak Pekey, S.Th yang dipercayakan panitia untuk menyampaikan renungan menekankan bahwa Allah yang melukiskan kita dalam telapak tanganNya itu tidak pernah meninggalkan dan mengecewakan kita dalam situasi sesulit apa pun.

Dalam perjalanan kuliah selama semester ini kita tentu banyak mengalami kekurangan, kehilangan, kesakitan, dll. Tapi kasihNya kepada kita melebihi kasih seorang ibu, ujarnya. Seperti seekor raja wali yang melepaskan anaknya dari ketinggian untuk melatih anaknya supaya bisa mandiri dan kuat demikian kasih Allah terhadap kita. Setiap masalah yang kita hadapi adalah proses pembentukan diri kita agar semakin dekat. Ia juga menambahkan bahwa paku yang menembus telapak tangan Kristus juga telah menembus kita, jadi kita menderita, mati dan bangkit bersama Dia. Mengapa? karena kita telah dilukiskan dalam telapak tanganNya. Akhirnya beliau berpesan bahwa bawalah keharuman Kristus dari STT ini kepada semua orang yang akan jumpai dimasa raya natal ini tapi juga selamanya.

Sekedar diketahui bahwa sejak pagi para mahasiswa dan mahasiswi sibuk menyiapkan kayu bakar, batu, daun-daunan dan makanan. Makanan dimasak ala orang gunung, barapen/bakar batu. Suasana kebersamaan dan sukacita natal terlihat jelas diraut para calon gembala dan pendeta ini. Kegiatan berjalan dengan meria karena sesekali diselingi dengan cerita-cerita lucu.

Redaksi Buletin

EKOLOGI DAN PEMBEBASAN: Suatu Paradigma Baru

Leonardo boff tidak hanya dikenal sebagai teolog besar dewasa ini dalam aliran teologi pembebasan, tetapi ia juga adalh seorang pencinta lingkungan. Sesuai dengan semangat spritualitas fransiskanes dalam ordo religiusnya, ia sangat prihatin dengan kerusakan alam dewasa ini sesuai dengan ajaran bapa Fransiskus yang dihayatinya, yakni “memandang dan menyapa semua mahkluk ciptaan sebagai saudara”, sebagaimana terugap dalam mars fransiskan: Gita Sang Surya. Ia melihat bahwa alam disekitar kita sedang dirusakan oleh manusia secara tidak bertanggung jawab, dan akibatnya masa depan manusia dan seluruh ciptaan semakin terancam punah. Keprihatinannya ia tunagkan didalam bukunya yang berjudul: Ecology and Liberation : A New Paradigma yang diterbitkan oleh Orbis Books Maryknoll, New York 10545. Edisi Inggris diterjemahkan oleh John Cumming, dari edisi berbahasa Italia. Sedangkan edisi yang asli adalah dalam bahasa Portugis di Brazil 1993.

Prolog: Suatu Kotbah di Bukit Corcovado.
Corcovado adalah sebuah nama bukit di ria de Janeiro, dimana dibukit itu berdiri kokoh sebuah patung kristus penyelamat. Gaya kotbah Boff menirukan gaya kotbah kristus dibukit yang terterah di dalam Injil (matius 5:3-12). Boff menyampaikan sejumlah ucapan bahagia kepada semua masyarakat di Amerika latin, terutama kaum papa, miskin dan tertindas. Ia memberikan sejumlah harapan dan peneguhan kepada mereka supaya tetap kokoh memperjuangkan realitas hidupnya dalam terang Iman dan Pengharapan sambil mengupayakan usaha-usaha transformasi.

Bagian Pertama: Ekologi; Suatu Paradigma Baru
Menurut boff, ekologi harus terjadi diantara seluruh mahluk ciptaan (apakah sudah mati atau hidup) melalui relasi-relasi, interaksi, dan dialog timbal balik. Ini tidak boleh diartikan hanya relasi dengan alam (natural ecology) saja, melainkan juga dengan kebudayaan dan masyarakat (human ecology, social ecology, dll). Dari sudut pandang ekologi, segala sesuatu bereksistensi, ko-eksistensi. Segala itu ko-eksistensi, pre-eksistensi. Maka segala ciptaan itu menjaring relasi dengan semua. Tak satu pu dapat bereksistensi (berada) di luar relasi-relasi itu. Maka ekologi menyatakan interdependensi (saling ketergantungan) segala yang ada (beings), menyederhanakan semua fugsi hirarkis dan meniadakan apa yang disebut “ hak orang-orang terkuat” (right of the strongest). Segala ciptaan memanifestsikan diri dan memiliki sendiri otonomi relative (relative autonomi), tak sesuatu yang tak berguna dan hal pinggiran (marginal). Semua mahluk ciptaan membangun relasi dalam kosmos yang luas sekali. Seperti orang Kristen berkata bahwa itu semuanya dating dari Allah dan akan kembali kepada Allah.
Ekologi bukanlah urusan suatu kelompok, seperti orang kaya, kelompok-kelompok teologis, dan aktivis lingkungan dan partai politiknya. Persoalan ekologis harus mencapai pada tingkat global, pada tahap kesadaran dunia dan gerakan dunia, dimana terdapat suatu pemahaman universal akan pentingnya keutuhan dunia seluruhnya. Kesejahteraan alam dan umat manusia, interdependensi segala ciptaan, dan sadar akan malapetaka apokaliptik yang mengancam segala ciptaan.


Bagian Kedua: Dari Ekologi Ke Kesadaran Global
Boff berpendapat bahwa persoaln utama yang menghadap kita dewasa ini adalah polusi (polution), ancama-ancaman nuklir dan baktriologi (nulear and bacteririological treats), pemusnahan hutan dan peggundulan (deforestation and desertification), kelaparan dan peledkan penduduk (famine and demographic explosion). Kesmuanya mengarah pada pokok yang penting yakni persoalan ekologis. Pada gilirannya kesadaran itu akan membawa kita pada perkembangan akan suatu budaya baru terutama berdasarkan pada suatu perbaikan akan pandangan tehnologi, politik dan social.
Ia menegaskan bahwa suatu pandangan baru dari setiap aspek ini, sebaiknya dikaitkan dengan kesadaran global (global consciousness). Hanya dengan berbuat demikian, kita mampu menyatakan kegembiraan dan cita kita dalam komunikasinya kepada Allah Bapa dan mama yang ketulusan kasihnya tak terbatas.
Krisis besar dalam gereja dan agama-agama dewasa ini adalah lunturnya hak yang mendasar, yakni tertutupnya sustu pengalaman mendalam akan Allah. Sesungguhnya, beberapa kaum beriman dari pojok-pojok planet bumi ini telah memprotes atas penderitaannya. Mereka sekarang mengikuti suatu jalan baru, yakni berahli kepada pembebasan terhadap budak-budak modern. Mereka sekarang berahli kearah bumi yang baru yang telah dijanjikan kepada mereka yang mengakui, bersama santo Fransiskus dari Asisi dan begitu banyak santo yang lain, sebagai saudara dan saudari untuk mencintai seluruh ciptaan dan segal jalan bagi segala sesuatu.

Epilog: Masyarakat yang Berpengharapan Akan Yesus Kristus
Theolog besar yang dikenal sebagai pencinta dan pembela kaum lemah dan miskin di amerika latin ini, pada epilog dari bukunya membeberkan suatu renungan tentang realitas kaum miskin di dunia pada umumnya dan amerika latin pada khususnya. Dalam renungan itu boff memperlihatkan akibat bagi masyarakat kecil dari tindakan kerusakan ekologi bagi masyarakt amerika latin. Kerusakan lingkungan berdampak negative bagi kehidupan masyarakat. Karena itu ia berdoa bagi yang lemah agar Yesus Kristus pembebas dapat membebaskan mereka dari situasi penderitaan dan ia pun berdoa agar para penguasa dapat dibimbing oleh Allah untuk memperhatikan kesejahteraan masyarakat dan menjaga keseimbangan ekologi demi keselamatan dan keutuhan segala mahkluk ciptaan.

(Drs. Agus A.Alua, MA, Dosen STFT Fajar Timur Jayapura-Papua)

MENGUAK MISTERI DiSEBERANG GIGA PROYEK MAMBERAMO

Oleh: Dr.Karel Phil Erari

Bagi anak-anak sekolah rakyat (SD) kelas 4-6 di Papua, pada jaman Belanda, sudah diajarkan bahwa sungai Mamberamo adalah amazone asia. Selain karena sungai ini merupakan sungai terbesar di Asia, sungai raksasa itu menyimpan sejuta rahasia alam. Kendati tidak terdapat ikan pemangsa manusia, seperti yang terdapat di Amozone, tetapi yang menjadi kekhasan Mambermo adalah buaya. Buaya berbintang lima yang tidak ada di belahan bumi lainnya, kecuali di Bumi Cenderawasih. Konon, Mamberamo memiliki jutaan kakayaan alam, dari buaya berbintang lima tadi sampai ke jenis anggrek merah yang hanya terdapat di Brazil dan Papua. Tepat 10 tahun yang lalu WWF telah mengusulkan supaya Taman Nasional Mamberamo yang meliputi 1.442.500 ha itu menjadi reservet terbesar kedua di Indonesia.
Di kawasan ternyata terdapat kekayaan biodiversitas yang sangat mengagumkan. Ia mengandung aneka habitat yang belum pernah terusik. Dari jutaan hektar hutan sagu yang terhampar luas disebela selatan Waropen hingga pedalaman wilayah Sarmi dengan kombinasi hutan bakau dan bobo tanaman sejenis enau rawa. Hampir dapat dipastikan bahwa Mamberamo merupakan gudang alternative pangan sagu di abad 21. Kawasan sungai Mamberamo adalah hutan daratan daerah yang bersentuhan dengan zona pegunungan dimana terdapat anak sungai: Indenburg dan Roffair.
Sungai yang berwarna coklat abadi itu, ibarat emas yang tak akan pernah habis ditambang. Ia memiliki kekuatan alam yang memang tak bisa dilawan oleh siapa pun karena bagi masyarakat setempat mamberamo adalah “ sang ibu” yang setia menyediakan makanan bagi anak-anaknya. Mamberamo menyimpan binatang mamalia yang beraneka ragam sejumlah 100 jenis dan 330 jenis burung. Di waktu yang lalu burung-burung tertentu seperti kakatua raja dan nuri menjadi sasaran perburuan pedagang asal BBM ( Buton, Bugis dan Makasar). Begitu larisnya sehingga sejumlah anak-anak SD dilaporkan pernah menjual satu ekor burung cenderawasih kepada guru untuk memperoleh ijazahnya, tanpa harus mengikuti ujian.
Di kawasan yang penuh dengan 12 jenis rotan kualitas ekspor itu, terdapat kangguru dan kuskus yang masih ramah terhadap manusia. Suatu kondisi harmonis antara alam dan manusia seperti ini mengundang banyak pihak untuk menjadikan tempat ini sebagai warisan pusaka dunia.

Pemilik
Mambermo yang dikenal sebagai kawasan yang kaya mineral dan sumber daya alam dengan jenis tambang seperti minyak, emas, tembaga, cobalt, timah, uranium, dll. Itu kini menjadi salah satu target pembagunan KTI. Pada saat kunjungan kanselir Helmut Khol akhir tahun 1996, nama Mamberamo tampil sebagai suatu medan bisnis yang dipertaruhkan antara Indonesia dan Jerman. Berbagai usaha untuk membangun Mamberamo sementara berjalan dan setiap orang ingin membuktikan bahwa Mamberamo dapat menjadi proyek yang menjanjikan serta merta dapat mengangkat status Indonesia bagian timur, sebagai kontributor terbesar dalam pembagunan iptek skala raksasa. Kata orang, bila Natuna menjadi proyek KBI, maka Mamberamo merupakan saudaranya dibelahan timur. Design proyek Mamberamo yang dirancang antara lain oleh Konsorsium Mamberamo, memperlihatkan betapa dahsyatnya pertumbuhan yang bakal terjadi dikawasan yang berbatasan dengan 4 kabupaten Papua itu.
Disebelah timur kawasan ini menjadi wilayah administrative kabupaten Jayawijaya; di selatan ia bersinggungan dengan kabupaten Jayawijaya dan Puncak Jaya, disebalah barat kawasan ini adalah wilayah potensial dari kabupaten Yapen Waropen. Di utara parairan laut menjangkau wilayah kabupaten Biak Numfor. Bilamana pembangunan DAS Mamberamo kelak menjadi suatu kenyataan, maka wilayah ini akan mengalami suatu perubahan yang luar biasa secara fisik.
Menjadi Pertanyaan bagi kita adalah siapakah yang menjadi pemilik proyek raksasa ini. Pertanyaan ini tentu akan dijawab dengan gampang, bahwa pengembangan DAS Mamberamo adalah milik bangsa. Bahkan proyek ini akan serentak mengangkat peranan KTI bagi pembangunan bangsa. Walaupun tak bisa di sangkal bahwa pihak pengelolah akan lebih besar peranannya untuk menentukan nasib giga proyek ini. Rakyat setempat tentu akan menghadapi kehadiran proyek ini dengan sejumlah pertanyaan. Bilamana sungai Mamberamo secara mitologis dihormati sebagai “sebagai ibu kandung” maka sentuhan mesin industri harus memperhitungkan reaksi budaya, bila mana perlakuan atas “ibu kandung” orang mamberomo itu kelak mematikan sumber hidup penduduk. Bilamana hutan-hutan sagu dibabat dan sungai Mamberamo disulap oleh iptek menjadi sumber energi untuk berbagai kawasan industri sambil membiarkan rakyat manjadi penonton, maka bersiap-siaplah kita untuk menghadapi tantangan dari suara budaya setempat.
Orang Mamberamo, baik mereka yang menghuni daratan rendah dengan kultur sagu dan perahu maupun kelompok suku dataran tinggi adalah pemilik sungai Mamberamo. Pihak gereja sudah bertahun-tahun bergumul dengan kondisi sosial budaya serta agama adat penduduk, sangat memahami hubungan rakyat dengan sungai Mamberamo. Dalam era pembangunan yang kan menguras sumber daya alam secara habis-habisan, di mana rakyat yang akan menjadi asing dirumahnya sendiri.
Sinyal-sinyal seperti itu kiranya mengundang kita untuk merencanakan segala rencana pembangunan, kembali diatas kepentingan bangsa. Dan bila itu adalah demi masa depan bangsa Indonesia maka rakyat Mamberamo yang jumlahnya 50 ribu jiwa itu adalah juga bangsa Indonesia. Nasib dan masa depannya ada ditangan kita.

Belajar dari Freeport
Alasan konflik yang terjadi antara suku Amungme Kamoro dengan PT.Freeport Indonesia sejak 1971 hingga sekarang ini telah justru karena Erstberg dan kini Grassberg, adalah kepala sang mama orang Amungme. Kepala sang mama disaksikan telah dirusak, digerogoti dan dibinasakan oleh mesin-mesin raksasa. Rakyat yang sejak semula merasa hak-hak adatnya dimanipulasi oleh orang-orang luar, bangkit dan melakukan “perang budaya”. Perang yang intinya menuntut penghormatan terhadap budaya orang Amungme yang sementara dimatikan secara sistematis dan berkelanjutan oleh PT.Freeport. Dari studi antropologis yang dilakukan saya temui bahwa selama konflik Amungme Freeport dijawab diluar mekanisme budaya dan suara rakyat maka solusi apapun tak bisa mengakhiri konflik tersebut.
Perang budaya ini akan tetap berlanjut, sampai semua pihak harus mengakui bahwa orang Amungme dan Kamoro adalah pemiliki tetap tanah pertambangan, dan perusahaan harus dapat menjawab pertanyaan budaya orang Amungme. Bagaimana mengembalikan kehidupam bagi mama kandung yang bagi mereka sudah diperkosa. Pengalaman pahit yang terjadi dikawasan pengunungan tengah itu kembali diuji di suatu kawasan baru. Akankah pihak pengelola DAS Mamberamo belajar dari PT.Freeport, bahwa rakyat tak bisa dipandang sebagai pihak yang tak berhak dan tak punya hak lagi, segera setelah “suatu izin dan kontark kerja” ditandatangani. Sadaralah kita bahwa secara antropologis dan budaya Melanesia, seluruh tanah di Papua adalah pemilik suku-suku yang mendiami wialyah itu. Tidak ada no man’s land di Papua. Karena setiap gunung, lembah, danau dan sungai mempunyai hubungan spiritual dengan manusia sekitarnya. Orang Baudi di dataran Mamberamo dan kelompok suku yang mendiami DAS Mamberamo terikat secara spiritual dengan sungai Mamberamo. Ibarat makna sungai Nil di Mesir yang merupakan representasi dewi kesuburan bangsa Mesir.
Pengunaan UUD 45 pasal 33 tentang seluruh kekayaan adalah dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan bangsa, harus ditafsirkan juga dari sudut kepentingan rakyat setempat yang adalah juga bangsa Indonesia. Sudah waktunya kita butuhkan suatu pendekatan regional dan pendekatan kontekstual dalam menafsirkan makna pasal 33 diatas. Karena justru jika kepentingan lokal yang semakin besar diberikan, akan memperkuat kepentingan seluruh bangsa. Penafsiran yang berat sebelah selama ini, sebetulnya menjadi sebab musabab mengapa Jakarta semakin terang benderang, dan macet total di bidang lalu lintas jalan raya, sementara daerah-daerah periferi republik ini semakin tertinggal. Dengan jalan-jalan yang rusak berat serta fasilitas perhubungan lainnya yang memprihatinkan.

Peran Gereja
Penduduk dikawasan ini hampir 90% hidup dalam asuhan Gereja antara lain Greja Kristen Injili Papua. Ikatan batin dan pertautan rohani yang sudah bertahun-tahun itu merupakan suatu fenomena khusus. Bahwa setiap bentuk pembangunan yang mengingkari peranan gereja akan mengalami kendala yang serius. Rakyat yang memiliki kepekaan yang mendalam secara rohani itu, akan mempertanyakan peranan gereja dalam pembangunan lingkungannya. Gereja tak bisa dipandang sebagai apendiks dari suatu perencanaan pembangunan. Suara gereja adalah suara budaya setempat. Kehadiran pihak luar dengan kayakinan iman yang berbeda pasti akan diterima sebagai saudara, asalkan tidak mengusik kepercayaan adat dan iman nasraninya.
Dengan menitik-beratkan peranan gereja ini, kita sekaligus diajak untuk melakukan refleksi secara sungguh-sungguh bahwa pembangunan apa pun yang tidak memperhitungkan peranan agama akan gagal, apalagi jika norma ekonomi menjadi satu-satunya standar pengambilan keputusan.

Diambil oleh redaksi blog ini dari Buletin Deiyai No.4/Thn.II/Maret-April/1997. hal.9-12.

Jumat, 27 November 2009

DR. Nawipa: Pendidikan non formal dapat merubah kebudayaan orang amungme yang berporos hai

Oleh: Dr. Benny Giay

Gerakan keagamaan yang terjadi di Papua pada masa lampau ditulis oleh peneliti dari negara-negara barat. Pembahasannya sering dilakukan dalam berbagai forum internasional di negara-negara barat. Data yang disajihkan sering akurat lantaran para peneliti fenomena ini sendiri kebanyak orang barat yang telah tinggal satu dua tahun di kawasan itu. Tetapi toh penulisannya tidak lepas dari pandangan barat yang didalangi oleh kepentingan atau pun agenda pribadi si peneliti itu sendiri.
Belakangan ini muncul juga orang Papua yang menganalisa dan menaruh perhatian terhadap gejala keagamaan ini yang di pulau jawa dikenal sebagai “ Gerakan Ratu Adil.” Peneliti terakhir asal Papua ialah Dr.Noak Nawipa yang menghasilkan: The Concept Of Hai Among The Amungme In The South Central Highlands Of Papua And Its Implication For Non Formal Education (Konsep Hai Diantara Suku Amungme di Bagian Selatan Pengunungan Tengah Papua dan Inmplikasinya Bagi Pendidikan Nonformal). Tesis yang ditulis dalam rangkah memperoleh gelar Doktor Pendidikan ini didasarkan atas penelitian lapangan diantara orang Amungme yang dewasa ini sedang ramai dibicarakan orang melalui media massa sehubungan dengan isu HAM disana.
Karya ini amat penting bukan saja karena penelitinya seorang putra suku bangsa Mee, dari Kabupaten Paniai, tetapi juga karena tulisan ini juga merupakan disertasi pertama mengenai suku Amungme ini. Disertasi lain tentang suku bangsa ini tengah dipersiapkan di Amerika Serikat oleh John Elenberger, seorang utusan injil yang sejak pertengahan 1950an telah tinggal diantara orang Amungme atau Damal di Beoga dekat Puncak Jaya, Papua. Pokok penelitiannya: masalah religi orang Damal, jadi tidak jauh beda dengan disertasi dari Dr.Nawipa tadi.
Penelitian untuk disertasi itu sendiri yang dilakukan selama kurang lebih lima bulan diantara orang Amungme di lembah Waa, Timika. Buku ini dimulai dengan mengadakan tinjauan metode pendekatan terhadap religi “Jaman Bahagia” di Papua Barat dan Papua New Guinea, yang dipakai peneliti barat hingga sekarang. Disini kita lihat sederatan nama besar dengan karyanya tentang gerakan keagamaan di kawasan ini seperti: Kenelm Burridge dengan bukunya Mambu: A Melanesian Milenium (1960), Victorio Lantemari, Religions of the Oppresed (1965), F.C Kamma, Koreri,Mesianic Movements in the Biak Numfor Culture Area (1972). Strelan, Search for Salvation (1978), Peter Lawrence, Road Belong Cargo (1964) dan Peter Worsley, The Trumpet Shall Sound (1968), dan nama-nama baru lainnya.
Setelah menelusuri pandangan para sarjana ini, peneliti kita tidak mau dipengaruhi begitu saja oleh penjelasan para peneliti barat tadi. Karena itu ia berupaya untuk menempatkan Hai: Gerakan jaman bahagia orang Amungme ini dalam konteksnya sendiri. Ini dilakukan oleh Dosen STT Walter Post Jayapura ini sembari meletakkan gerakan keagamaan ini dalam konteks sosial- budaya, ekonomi dan politik serta latar belakang historis orang Amungme. Ia mencoba meyakinkan kita bahwa Hai tidak boleh dilihat lepas dari konteksnya. Karena itu tidaklah mengherankan apabila ia mengulas secara ringkas sejarah kontak suku ini dengan para penyiar agama dari barat dan rombongan ekpedisi Belanda yang sering mengunjungi daerah ini termasuk perjalanan tim ilmuan yang menemukan lokasi emas dan tembaga yang mendatangkan malapetaka bagi orang Amungme sendiri dewasa ini.
Berbeda dengan peneliti barat sebelumnya yang sering menekankan salah satu aspek seperti: sosial ekonomi, politik, pemerasan dan perampasan, dll. Sementara melecehkan penemuan ilmuan lain, Dr.Noakh Nawipa yang pernah menjadi pendeta jemaat Gereja Kemah Injil Papua di Timika ini memandang Hai secara holistik ( hal.51,120). Ini berarti Hai orang Amungme dipandangnya sebagai penampakan dari aspirasi teologi pribumi yang dinafasi oleh mitologi Amungme, manifestasi cita-cita pembebasan dari pemerasan perampasan hak, serta keprihatinan orang Amungme untuk mempertahankan dunia dan integritas kelompoknya ditengah-tengah dunia modern yang tidak menentu ini. Jadi semua aspek ini dilihatnya sebagai muatan konsep Hai itu. Dan kesimpulan ini sendiri ditariknya setelah berupaya menggali mitologi dan tradisi serta sejarah kontak orang Amungme dengan dunia luar. Dengan perkataan lain Dr.Nawipa mau menarik kesimpulannya berdasarkan analisa atas “teks” yang dalam hal ini ialah gerakan-gerekan keagamaan Hai diantara orang Amungme , dengan “konteks” dalam arti sejarah lokal dan tradisi orang Amungme.
Dalam upaya untuk mengajak kita untuk melihat hubungan antara “teks” dan
“ konteks” Dr.Noakh Nawipa mengambarkan sejarah kontak orang Amungme dengan orang barat dan non-barat. Hanya disayangkan bahwa uraiannya tentang “konteks” ini tidak begitu panjang. Sementara uraiannya menyangkut “teks” (mitologi orang Amungme dan gerakan-gerakan keagamaan Hai yang telah dan tengah terjadi disana) dapat dikatakan cukup panjang.
Lalu apa pesan penting dari disertasi ini? Dr. Nawipa berpandangan bahwa kebudayaan orang Amungme yang berporoskan Hai itu dapat ditransformasikan. Caranya ialah dengan pendidikan nonformal. Transformasi yang dimaksud Dr.Nawipa bukan berarti mencabut orang Amungme dari akar-akar kebudayaannya. Ia menolak pandangan bahwa transformasi berarti menyangkal masa lampau dan kebudayaan leluhur. Karena kebudayaan asli dapat menjadi sumber inspirasi bagi orang Amungme membangun hidupnya di dunia ini dan menjadi kekuatan dalam proses integrasi dengan suku-suku bangsa lainnya di Indonesia. Tentu saja tesis yang dipertahankan di Asia Graduate School of Theology (AGST) Manila, Philipina tanggal 27 Juli yang lalu ini akan menambah jumlah kepustakaan mengenai “religi kontemporer orang Papua”


Tulisan diatas disadur oleh redaksi blog ini dari Majalah Informasi Agama dan Kabudayaan Irian Jaya ‘Deiyai’ edisi perdana September-Oktober 1995. hal.3-5.
NB: Kata Irian Jaya diganti dengan Papua

Minggu, 22 November 2009

INTELEKTUAL SELAYAKNYA SEBAGAI OPOSISI

INTELEKTUAL SELAYAKNYA SEBAGAI OPOSISI

Apa peran seorang intelektual? Peran seorang intelektual adalah mengatakan sesuatu yang dianggap benar entah itu sesuai atau tidak dengan penguasa. Jadi, seorang intelektual adalah pencipta bahasa yang mengatakan yang benar kepada yang berkuasa. Karena itu intelektual selayaknya lebih condong sebagai oposisi ketimbang sebagai akomodasi. Karena, dosa paling besar seorang inteletual adalah apabila ia tahu apa yang seharusnya dikatakan tetapi ia menghindar(membisu).

Sosok Intelektual
Penjelasannya panjang lebar mengenai sosok intelektual dalam buku ini, Said mengutip pendapat Antonio Gramsci, bahwa intelektual dalam masyarakat dapat digolongkan menjadi dua bagian.
1. Intelektual tradisional. Mereka ini seperti guru, ulama, administrator dan sejenis yang terus menerus melakukan hal yang sama dari generasi ke generasi.
2. Intelektual organik. Mereka inilah yang berhubungan langsung dengan kelas-kelas, perusahaan-perusahaan atau elit politik.
Intelektual organik ini selalu aktif bergerak dan berbuat. Dan selalu berupaya mengubah pemikiran rakyat (hal.2). sedang intelektual menurut Julien Benda, kutip Said, adalah segelintir manusia yang sangat berbakat dan yang diberkahi moral filsuf raja. Sedangkan intelektual sejatih, masih menurut Benda, adalah mereka yang pada dasarnya bukan berkegiatan untuk mencapai tujuan praktis. Tetapi, atas dorongan mentafisika dan prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran. Karena itu ada ungkapan bahwa kerajaan para intelektual bukanlah di dunia ini (hal.3).
Dari situ, dalam penilaian Said, Benda menggambarkan intelektual dalam sosok yang sangat ideal. Buat Said, tampaknya ia lebih cocok dengan batasan yang disodorkan Gramsci mengenbai intelektual ini. Alasannya, seperti juga yang ditulis Franz Magnis Suseno dalam pengantarnya, definisi Gramsci lebih dekat kepada realitas dari pada konsep benda. Terutama pada akhir abad ke-20 ketika muncul berbagai profesi baru (halaman xxv,5).

Kritik
Kendati demikian, bagi sais intelektual harus melakukan (mempunyai) kebebasan mengeluarkan pendapat dan pikiran. Karena, kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan benteng utama kaum intelektual.
Menurut Said, tak ada kalangan yang bisa di kritik atau dicela, kalau memang diperlukan. Dalam bahasa Said tidak ada “dewa” yang harus senantiasa dipuja dan diminta petunjuk. Kalau salah, haruslah dibilang salah. Siapa pun dia. Sehingga, tidak perlu kaget kalau The New York Times (26/8/96) memberitakan, bahwa buku-buku karya Edward W. Said disita dan dilarang dijual diseluruh Palestina. Karena pemerintah Yaser Arafat tidak suka sikap Said yang mengkritik kebijakannya. Padahal, pada sisi lain, intelektual kelahiran Yerusalem ini juga tetap memuji kesuksesan Yaser Arafat dalam membawa Palestina kea rah kemajuan.
Sebenarnya, bukan cuma Yaser Arafat yang dikritik Said. Raja Husein dari Yordania, serta beberapa pemimpin Negara lain yang sudi didikte Israel dan Amerika serikat, idak luput dari kritikannya. Termasuk wartawati The New York Times, Judith Miller yang dalam laporannya memihak Israel.
Dalam buku yang diterbitkan Yayasan Obor ini, Said lalu menegaskan bahwa intelektual merupakan individu dengan peran public yang tidak dapat direduksi. Dia harus menjadi orang yang tidak gampang dikooptasi pemerintah atau korporasi. Kaum intelektual, lanjut doctor lulusan Harvard ini, harus memaikan peran penting dan berperinsip bahwa semua manusia berhak mengahrapkan standar perilaku yang layak sehubungan dengan kebebasan dan keadilan. Karena itu, kekerasan dan pelanggaran terhadap satandar-standar tersebut harus berani ditentang (hal.7).
Memang, mengatakan yang sebenarnya dalah berat. Tetapi itulah memang perang intelektual. Di sini menurut Said, posisi intelektual, yaitu selalu berdiri di antara kesendirian dan pengasingan. Karena itu pula, peran intelektual saat ini benar-benar membutuhkan keberanian untuk menyibak sesuatu yang terlupakan. Ia harus tetap kritis dan memiliki cita rasa untuk tidak dapat menerima formula sederhana yang bersifat akomodatif pada penguasa.
Buku yang diuraikan menjadi enam bab ini memberikan gambaran utuh tentang peran dan sosok intelektual di tengah kehidupan social dan politik. Penjabarannya, Bab I dan II membahas tentang peran intelektual serta soal mengesampingkan bangsa dan tradisi. Disini ditemukan pandangan-pandangan para intelektual, seperti benda, Gramsci dan Alvin Gouldnes mengenai peran intelektual dan penegasan keuniversalan intelektual. Menganai para intelektual dipengasingan, yang disebut sebagai kaum eskpatriat dan kaum marginal, serta pemahaman yang jelas sial kaum professional dan kaum amatir, dapat dilihat pada bab III dan IV. Antara lain disini ditegaskan, bahwa bagi seorang intelektual pengasingan berarti pembebasan dari karier biasa. Dalam keadaan begitu berbuat baik dan mengikuti jejak langkah terhormat merupakan tonggak utama.
Sementara bab V dan VI, dibahas mengenai perlunya mengatakan kebenaran kepada kekuasaan, dan dewa-dewa yang selalu gagal. Dua bab terakhir ini memaparkan bahwa sesuatu kebenaran harus dikatakan kepada pemegang kekuasaan, serta kisah beberapa intelektual (dewa-dewa) yang gagal setelah memperjuangkan kebenaran karena terhadang kekuasaan.
Tentu saja buku ini sangat menarik disimak. Isinya dapat dicerminkan dengan kehidupa intelektual, terutama dalam kaitan dengan sosok dan peran intelektual di tanah air tercinta.

Tulisan diatas adalah karya seorang Sufandi Maruih yang kemudian ditulis kembali oleh redaksi blog ini.

Sabtu, 21 November 2009

COUNTRY OF MY SKULL

“Never, never and never again shall it be that this beautiful land will again experience the oppression of one by another” (Nelson Mandela)

Politik apartheid di Afrika Selatan membawa Negara tersebut memasuki sejarah kekerasan yang panjang. Tidak ada catatan pasti tentang jumlah orang yang telah meninggal, hilang atau keluarga yang tercerai berai. Akan tetapi politik apartheid cukup hebat untuk membuat seluruh rakyat Afrika Selatan menangis dan hidup dalam ketakutan. Mimpi buruk ini akhirnya berakhir tahun 1994. Politik apartheid dihilangkan Nelson Mandela menjadi presiden kulit hitam pertama di Afrika Selatan. Seiring dengan ini, rakyat Afsel memasuki kisah baru-kisah-kisah tentang pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi.
Inilah yang melatarbelakangi dibuatnya film “ Country of My Skull”. Film ini mengambil tempat di Afrika Selatan pada tahun 1995, ketika Negara itu masih diliputi semangat rekonsiliasi. Saat itu pemerintah menawarkan amnesty kepada mereka yang melakukan pelanggaran HAM, baik pada pihak kulit putih maupun kulit hitam. Syarat yang harus dipenuhi oleh orang-orang yang mau mendapatkan amnesty adalah mereka harus menceritakan apa yang sebenarnya terjadi dan dapat membuktikan bahwa mereka terpaksa melakukan pelanggaran HAM tersebut karena mengikuti atasan mereka.
Untuk mendapatkan amnesty, para pelaku pelanggaran HAM harus menghadiri sidang terbuka yang diadakan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Siding ini boleh dihadiri oleh siapa saja: pers nasional maupun internasional, aktivis, warga sekitar, perempuan dan anak-anak. Tidak seperti persidangan kasus pidana biasa, siding terbuka KKR diselenggarakan di berbagai daerah di Afrika Selatan secara bergantian. Ruang yang digunakan pun bias bermacam-macam, mulai dari gedung pemerintah, gereja sampai sekolah. Dalam ruang-ruang inilah para korban dan keluarga korban bertemu langsung dengan orang-orang yang membuat mereka jadi ‘korban’. Para korban atau keluarga korban diminta untuk mengungkapkan cerita, pengalaman, perasaan, maupun trauma-trauma yang masih dirasakan sampai saat itu akibat tindakan pelanggaran HAM yang mereka alami. Di sisi lain, para pelaku juga dipersilahkan untuk mengungkapkan cerita mereka, mulai dari kronologis dan detil kejadian sampai perasaan-perasaan negative yang kemudian menghantui mereka.
Tentu saja pemberian amnesty ini mengundang berbagai kontroversi. Salah satu hal yang menarik dari film ini adalah kontroversi pemebrian amnesty yang dimunculkan oleh dua tokoh utama yang saling berseteru karena pemahaman yang berbeda tentang pemeberian amnesty. Anna Malan (Juliette Binochet) adalah seorang jurnalis untuk sebuah stasiun radio. Ia seorang Afrikaan (orang kulit putih yang lahir besar di Afrika) yang memandang pemberian amnesty sebagai salah satu langkah penting dalam proses rekonsiliasi. Menurutnya, dengan pemberian amnesty maka para korban dan pelaku bisa mulai saling memaafkan. Pemberian maaf, menurut Anna dan banyak orang Afrika Selatan, merupakan kebiasaan yang sesuai dengan budaya setempat. Berbeda dengan Anna, Langston Whitfield (Samuel L.Jackson) bersikap cukup skeptis terhadap pemberian amnesty. Menurutnya, pemeberian amnesty sama saja dengan membiarkan si pelaku pelanggaran HAM meloloskan diri dari hukuman atas perbuatannya. Ia ragu apakah rekonsiliasi semacam ini mampu mengobati luka mendalam yang timbul akibat politik apartheid.
Salah satu karakteristik yang menarik dari film ini adalah munculnya berbagai aspek dari proses pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi melalui cara-cara sederhana. Selain dari perseturuan antara Annna dan Langston, aspek-aspek tersebut muncul dari cerita-cerita korban dalam persidangan. Misalnya saja dari kasus seorang anak yang melihat kedua orang tuanya dibunuh oleh aparat kulit putih. Sejak kejadian itu anak itu tidak pernah bicara kapada siapapun. Saat persidangan, sang aparat mengakui perbuatannya yang menyatakan bahwa ia harus melaksanakan perintah atasannya. Ia merasa ssangat berdosa sampai-sampai ia ingin merawat anak tersebut, menyekolahkannya atau melakukan apa saja untuk menebus rasa besalahnya. Reaksi sang anak sangat menakjubkan, ia bangkit dari tempat duduknya lalu memeluk pria kulit putih yang telah membunuh kedua orang tuanya. Ketika ada sebagian orang yang merasa pemeberian amnesty sama dengan membiarkan sang pelaku lari dari tanggung jawab atas tindakannya, kasus ini membuktikan kebalikan dari pendapat tersebut.
Kasus lainnya muncul dari pelaku pelanggaran HAM nomor satu di Afrikan Selatan, Kolonel de Jager. Langston mendapatkan kesempatan untuk memwawancarai de Jager secara pribadi. Dari sinilah sebuah kasus pelecehan seksual dan perkosaan terungkap. Tawanan mereka, seorang perempuan kulit hitam, dibawa ke daerah pegunungan, ditelanjangi, diperkosa dan dibiarkan berhari-hari dalam keadaan telanjang dan tanpa makanan sampai ia mati. Lalu untuk mendapatkan amnesty de Jager dalam sidangnya berargumen bahwa siksaan dan perkosaan tersebut dilakukan untuk mendapatkan informasi penting dari tawanan sehingga sang colonel bisa menyelamatkan negaranya. Ia hamper yakin bahwa ia akan mendapatkan amnesty karena merasa telah membela negaranya. Dalam kasus ini, tindakan pelanggaran HAM bersembunyi dibalik argument membela Negara. Lalu amnesty dapat diberikan kepada orang-orang telah membela negaranya, seperti colonel de jager?
Contry of skull cukup bangus unuk memberikan gambaran sederhana kepada para pemirsanya tetang berbagai aspek yang cukup kompleks serta berbagai kontroversi dalam pengungkapan kebenaran an rekonsiliasi. Melalui berbagai adegan dalam cerita ini, para pemirsa diajak untuk melihat sisi para korban dan juga para pelaku-kenapa mereka melakukan tindakan pelanggaran HAM dan rasa bersalah yang kemudian dirasakan ( atau tdak dirasakan) mereka. Dari sejarah kekerasan inilah masyarakat Afrika Selatan belajar tentang kebenaran dan pemaafan.

Jumat, 20 November 2009

Kegiatan Dosen Minggu Ini

1. Ketua sekolah berangkat ke Timika sosialisai program sahabat STT_WP dan telah kembali ke tempat tugas
2. Ibu Sariaty Adii melakukan perjalanan ke kota buah-buahan Manokwari melihat teman-teman pelayanannya yang berkunjung dari jakarta. Hari rabu rombongan ini ibadah chapel bersama civitas akademik STT_WP di gedung aula.
3. Naftali edoway mengikuti seminar yang diselenggarakan oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Propinsi Papua di Hotel Relat Indah selama 2 hari.
4. hari sabtu ini ada kerja bakti massal di kompleks STT-WP

Jumat, 06 November 2009

STT-WP MELAUNCHING PROGRAM SAHABAT STT-WP

“ Menjadi sahabat Walter Post berarti menjadi teman dalam berbagi hidup dan pelayanan. Berbagi hidup dan pelayanan berarti berbagi pengalaman, entah pengalaman penderitaan ataupun pengalaman kesukaan “

Dalam rangka memperingati hidup dan karya Pdt. Walter Post sejak 1939 sekaligus memperingati 70 tahun usia pendidikan teologi di tanah Papua, STT-WP meneguhkan kembali tuan Post sebagai bapak pendidikan sekolah-sekolah teologi KINGMI di tanah Papua. Selain itu STT-WP juga meluncurkan sebuah program yang disebut “ SAHABAT WALTER POST”. Melalui program ini STT-WP mengajak semua warga gereja KINGMI atau pun bukan yang peduli untuk menjadi sahabat STT-WP dengan menyumbangkan sedikit dana yang sifatnya sukarela. Tujuan dari program ini adalah guna meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan untuk menyiapkan pendeta, penginjil, guru agama dan pelayan social masyarakat di Tanah Papua. Kegiatan yang berlangsung tanggal 6 November 2009 ini di hadiri oleh Ketua Klasis Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura serta para gembala-gembala sidang dan kaum awam. Dalam kegiatan ini dilakukan penarikan undian dengan hadiah sebuah Hand Phone baru merek nokia. Meny Yogi Gembala sidang Jemaat Bethesda juga staf pengajar di STT-WP berhasil mendapatkan hadiah tersebut. Semua peserta yang hadir menyambut gembira program ini. Ketua STT-WP Pdt.Dr.Noak Nawipa yang memimpin kegiatan mengatakan bahwa kegiatan yang sama akan diadakan pada awal bulan Desember mendatang dengan tempat yang berbeda. Ia juga kembali mengundang para hamba Tuhan yang ada dan melayani di Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura dan Kerom. Kegiatan ini diakhiri dengan makan siang bersama.

Sekertariat Program S2& S3

KKR Senat STT Walter Post

Beberapa minggu yang lalu senat STT-WP melakukan kegiatan ibadah dalam bentuk KKR. Walaupun kegiatan ini tidak dihadiri oleh semua dosen, staf dan mahasiswa, namun acaranya berjalan dengan baik. Tema yang diangkat “ datanglah kerajaanmu dibumi seperti disurga”. Ada tiga pesan yang disampaikan oleh sekertaris senat STT-WP Ham Tenouye dalam renungannya: 1) kerajaan Allah itu pertama harus di hadirkan di dalam diri setiap orang Papua, 2) kerajaan Allah juga harus dihadirkan di dalam keluarga, dan 3) di dalam komunitas dimana kita hidup dan berkarya. Dengan demikian kerajaan Allah yang dilandasi oleh buah-buah Roh itu akan nyata di tanah Papua lalu memancar ke seluruh dunia. Yang bertindak sebagai protocol adalah Franus Hagawal sementara Petrus Badokapa sebagai pembawa acara yang didampingi oleh Yan Youw, Melki Nawipa dan Delmina Pigai sebagai singers. Sementara tim musik terdiri dari, Ibnu Makay (bass), Shito Lokobal ( keyboard) dan Naftali Edoway (keyboard). Berikut adalah foto-fotonya:

Selasa, 27 Oktober 2009

MUSUH-MUSUH DI JALAN ALLAH

Pdt. Dr.Benny Giay, Ph.D

Tugas untuk membebaskan, mengubah dan melakukan penetrasi terhadap struktur dan atau lembaga masyarakat adat agama atau ideology dengan Nilai-Nilai Baru dari Kerajaan Allah bukanlah semuda membalik telapak tangan. Bagian berikut membahas beberapa musuh yang terus berupaya menghalangi perluasan dan penetrasi dunia ini dan masyarakatnya dengan nilai-nilai kerajaan Allah.

1. Pimpinan Lembaga Agama, Social, Adat Dan Politik
Unsur pimpinan lembaga-lembaga yang ingin mempertahankan kepentingan, posisi dan pengaruhnya sering menentang tokoh dan agen pembaruan. Dengan kata lain, penolakan ini terjadi karena kecurigaan terhadap nilai-nilai kerajaan Allah yang dapat menggeser posisinya. Salah satu contoh yang kita dapat sebutkan ialah Pimpinan Agama Yahudi yang menyalibkan Yesus Kristus.

2. Agama, Ideology Dan Kepentingan Ekonomi
Penghadang lain dari semangat menyebarkan nilai-nilai kerajaan Allah ialah oknum dan tokoh-tokoh atau orang-orang kuat tertentu yang ada di masyarakat yang terus menerus mengeksploitasi adat atau agama sebagai kebun sumber pendapatannya. Salah satu contoh yang dapat disebutkan disini ialah Demetrius dari Efesus yang mendorong hura-hara menentang Penyiaran Injil Rasul Paulus, karena usahanya yang telah mendatangkan keuntungan ekonomi terancam bubar.

3. Fanatisme Dan Pemahaman Alkitab Yang Sempit
Fanatisme dan pemahaman teologi dari masyarakat yang sempit tentang Allah, Kristus atau Keselamatan selalu menjadi batu sandungan bagi ide-ide baru seperti upaya-upaya pembaruan dalam tradisi dan kehidupan masyarakat. Pemahaman yang sempit yang didirong oleh ajaran tokoh-tokoh agama yang otoriter selalu membuat masyarakat menolak dan mencurigai lalu menentang pemahaman baru dan nilai-nilai baru. Contoh yang jelas yang dapat sebutkan ialah golongan fundamentalis baik dalam agama Kristen maupun Islam.

4. Penguasa Dan Ideology Penindasan
Penguasa yang otoriter dengan ideology politik dan pembangunan yang mengarah kepada penindasan masyarakat yang akan melihat nilai-nilai kerajaan Allah tadi seperti ancaman terhadap kepentingannya; dalam sejarah Indonesia pemerintah Belanda mencegah Badan PI untuk menyiarkan Injil di Jawa dan Maluku karena kegiatan PI bisa membuat golongan Islam memberontak sehingga mengganggu kepentingan pemerintah Belanda. Demikian pada masa orde baru pemerintah orde baru selalu menempatkan gereja yang memainkan peranan kenabian sebagai pihak yang mengganggu keamanan dan ketertiban negara.

5. Kemampanan Dan Hegemoni
Musuh lain ialah petugas gereja/agama yang telah lama berkarya didalam lembaga keagamaan. Mereka sering memposisikan dirinya sebagai orang yang lebih berpengalaman dan lebih banyak mengetahui masalah dogma dan asas. Tujuannya ialah semata-mata untuk mempertahankan kemapanan dan hegemoni dalam gereja. Setiap langkah pembaruan dipandang sebagai ancaman dan karena itu menudingnya sebagai penyebar ajaran sesat. Kitab suci seperti Alkitab sering dipakai sebagai alat legitimasi dan pembenaran untuk mempertahankan kemapanan.

6. Mahluk Roh Territorial
Musuh lain yang sering menghalangi penyebarluasan nilai-nilai kerajaan Allah ialah Makhluk-makhluk roh territorial: Teritorial Spirit. Makhluk roh teritotial ini menurut studi yang dilakukan oleh beberapa ilmuan di Afrika ialah makhluk yang tinggal dan mendominasi/berkuasa atas suatu masyarakat dan wilayah geografis tertentu, sehingga masyarakt daerah itu tunduk dan menyembah kepadanya (lihat Van Binsbergen 1978). Konsep ini kemudian diterapkan dalam pekerjaan peyiaran injil, makhluk ro territorial ini diartikan sebagai roh yang memiliki kekuasaan atas suatu wilayah, daerah negara atau kawasan tertentu. Dalam kipranya mereka berkuasa dan menguasai bangsa-bangsa dan negara tertentu, kota dan propinsi tertentu (lihat Greenlee 1994:507 dst; dan Wagner 1991) kata para penyiar injil kegiatan pekabaran injil disuatu daerah atau negara kadang-kadang tidak membawa hasil; karena katanya dihadang oleh makhluk roh territorial ini.
Contoh dari makhluk roh seperti itu dapat kita baca di dalam Daniel (10:12-13) berdoa kepada Tuhan. Dan Tuhan menjawab doanya. Tetapi malaikat Tuhan yang membawa jawaban doa dari Tuhan buat Daniel itu dihalangi oleh penguasa kegelapan. Malaikat Tuhan tadi bisa melewatinya setelah dia berhasil ditolong oleh Mikhael, seorang malaikat Tuhan lainnya. Jadi upaya untuk mempengaruhi dan memerangi dunia dan masyarakat dewasa ini sering dihalangi oleh penguasa dunia atau makhluk-makhluk roh territorial ini.

7. Mahluk Roh Terotorial Bekerja Sama Dengan Penguasa Politik Atau Toga Dan Tomas
Misi untuk menggarami dunia dengan spirit Etika dari Kerajaan Allah ini juga sering dihadang oleh makhluk roh territorial tadi yang melekat kepada lembaga agama, gereja, badan penyiar injil, atau penguasa politik, tokoh agama dan tokoh adat. Kadang-kadang penguasa dan tokoh adat/agama yang otoriter itu bekerja sebagai agen atau dibawah pengaru para penguasa roh dunia. Sehingga kegiatan untuk membebaskan manusia dari ideology penindasan, atau dari pemahaman agama yang sempit dilawan dengan menggunakan segala cara.


Kepustakaan

Greenlee, D (1994) Teritorial Spirits Reconsidered. Missiology Vol. XXII No.4 Oktober
Van Binsbergen, W.M.J (1978) Dalam Guardians of the Land. ( JM Schoffeleers Peny.) Simbabwe: Mambo Press
Wagner, P. (1991) Territorial Spirit. Chichester: Soverreign World Ltd.

DARI IBADAH SYKURAN 33 ANGGOTA DPRP ASAL PEGUNUNGAN

DARI IBADAH SYKURAN 33 ANGGOTA DPRP ASAL PEGUNUNGAN

Setelah melewati masa kampanye dan pemilu yang panjang, akhirnya semua calon anggota legislatif Papua di lantik pada 5 Oktober 2009 lalu. Dari 53 anggota DPRP itu, 33 orang diantaranya adalah putra-putri asal pengunungan tengah. Bagi orang pegunungan, ini merupakan sejarah baru dalam perjalanan politik di Papua Barat. Orang gunung yang selama ini dianggap terbelakang, bodoh, dan tidak bisa, membuktikan dirinya bahwa mereka juga bisa. Mereka tampil di panggung politik Indonesia untuk menepis stigma-stigama negatif yang selalu dialamatkan kepada mereka. Mereka mau bilang bahwa sudah tiba saatnya orang gunung merubah sejarah. Untuk mensyukuri anugerah Tuhan itu, sebagai anak Tuhan tapi juga anak koteka, mereka melakukan acara syukuran dalam bentuk ibadah dan bakar batu (Barapen). Masyarakat pegunungan yang ada di dua kabupaten dan satu kotamadya dikerakan untuk ikut berpatisipasi dalam kegiatan ini. Sekitar 50-an ekor babi dan puluhan ekor ayam dikorbankan dalam acara ini guna satapan bersama. Acara syukuran ini berjalan dengan aman dan terkendali dibawah cuaca yang cukup cerah.

“Telah Tiba Saatnya”
Itulah judul dari renungan Firman Tuhan yang disampaikan Pdt.Socrates Sofyan Yoman, MA (Ketua Sinode Baptis Papua) dalam acara pengucapan syukur ke-33 anggota DPRP asal pengunungan tengah di Puspigra Kampung Harapan Jayapura. Renungannya diambil dari kitab Yohanes 17:1-26. Tema yang diangkat oleh panitia adalah “Satukan langkah untuk membangun Papua yang Aman, Damai, Sejahtera, dan tegakan Kebenaran Hak Asasi Manusia (HAM) menuju Papua Baru”. Mengawali khotbahnya pak Yoman menyampaikan bahwa tema yang diangkat oleh para anggota dewan ini tentunya merupakan komitmen. Komitmen untuk merubah wajah Papua yang selama ini dirasa tidak aman, tidak damai, tidak sejahtera dan jauh dari keadilan serta penegakan HAM. Secara khusus beliau menyampaikan pesan bahwa “komitmen kalian hari ini sudah didengar oleh Tuhan Allah, Alam Papua, Rakyat Papua dan tulang belulang orang Papua Barat yang telah tiada”. Oleh karena itu, kami harap komitmen yang lahir dari hati itu, kalian pegang baik-baik.
Ia juga sedikit mengklarifikasi komentar seorang anggota dewan baru di koran beberapa waktu lalu yang bilang “ saatnya anak koteka bicara”. Beliau menyampaikan bahwa kata “anak koteka” harus dirubah menjadi “anak Papua”. kita orang Papua ras Melanesia dari Sorong sampai Merauke adalah satu. Jangan kita mengkotak-kotakan diri kita. Jangan kita mendukung politik pengkotak-kotakkan yang dibuat oleh orang lain terhadap kita. Sampai kapan pun kita tetap satu dan itu tidak bisa diubah.
Barrack Obama orang Amerika yang berasal dari keturunan kulit hitam Afrika, hari ini telah menjadi presiden di negara Super Power Amerika Serikat. “We Can Change” adalah visinya, dan kiranya itu juga jadi visi kita hari ini. Kalian (para anggota dewan) dan kami semua punya tugas hari ini untuk merubah Papua agar lebih dari hari kemarin. Beberapa pesan yang disampaikan dalam renungan itu adalah:
1. Injil adalah kekuatan. Hanya kekuatan injil yang mampu merubah paradigma penguasa untuk membangun Papua. Oleh karena itu pegang injil itu sebagai kekuatan kalian. Kalian harus menjadi teladan dalam kata dan tindakan. Hari ini kalian telah berkomitmen dan rakyat ini telah mendengarnya, maka nyatakanlah itu. Dengan kekuatan injil bicaralah tetang perubahan.
2. Rakyat Papua hari ini sedang membisu. Kalian punya tugas untuk membuat mereka/rakyat bicara. Jangan biarkan mereka hilang dalam kebisuan. Mereka punya hak untuk bicara. Bicara tentang hak-hak dan nasib hidup mereka. Bicara tentang harapan hidup mereka. Jangan tutup pintu kantor, jangan matikan atau ganti nomor hp kalian. Bukalah telinga, biarkan mereka bicara dan perjuangkanlah itu. Bicaralah tentang nasib mama-mama asli Papua yang berjualan beratapkan lagi dan beralaskan tanah dan daun pisang di depan Galael itu.
3. Jaga identitas diri. Menjaga identitas diri itu penting. Identitas diri sebagai anak Tuhan, anak adat, dan anak Papua. Perjuangkan identitas itu. Jangan menjadi bagian dari perusak dan pembunuh. Karena injil dan budaya tidak megajarkan kita tentang hal itu.
4. Berbicaralah bagi mereka yang ada dipenjara-penjara. Hari ini Yusak Pakage, Philep Karma, Selpius Bobbi, Buctar Tabuni ,dkk sedang ditahan dipenjara. Perjuangkanlah kebebasan mereka. Mereka tidak berbuat makar. Mereka hanya berjuang untuk sebuah demokrasi baik dan adil, karena negara ini negara demokrasi dan hukum. Semua orang bisa menyampaikan pikirannya dengan bebas. Jangan kita dicap, OPM, Separatis dan Makar, karena itu tidak ada di Papua. Bilang sama penguasa, jangan menabur istilah-istilah itu di Papua lagi.
5. Bicaralah tentang kemanusiaan. Janganlah takut bicara tentang kemanusiaan di Tanah Papua. Karena kemanusiaan adalah isu universal. Semua orang di dunia bicara tentang itu. Kami gereja akan berjalan bersama anda. Sekali lagi jangan takut, sebab Tuhan, alam ini, dan seluruh bangsa Papua Barat semua manusia di dunia ini ada bersama anda.
6. Ingatlah selalu pesan-pesan para penginjil barat duluh. Saat Ottow dan Geisler menginjakkan kaki mereka untuk pertama kalinya di Tanah Papua mereka pernah katakan “dengan nama Tuhan kami menginjakan kaki di Tanah ini”. Tanah ini dan manusianya sudah diberkati dengan nama Tuhan, oleh karena itu jangan bertingkah diluar apa yang Tuhan mau. Ada juga pesan lain dari Ishak Samuel Kijne “siapa yang bekerja dengan jujur di atas tanah ini dia akan melihat satu tanda heran kepada tanda heran lainnya”. Oleh karena itu bekerjalah dengan jujur. Jangan menipu rakyat. Kalau mau dapat banyak berkat.

Dulu sebelum Obama naik jadi presiden Amerika, Marthen Luther King, Jr pernah bermimpi bahwa suatu saat anak-anak dari para budak dan para tuan tanah akan berjalan bergandengan tangan di sepanjang pinggiran sungai missisipi. Mimpi itu kemudian di wujudkan oleh Obama. Hari ini rakyat Papua punya mimpi tentang Papua Baru, mampukah kalian menjawabnya?

Sementara itu Baharudin Munas Kepala wilayah Departemen Hukum dan HAM Papua yang diberi kesempatan untuk menyampaikan sambutan mewakili Pemerintah menyampaikan bahwa:
1. Sepakat dengan kata pak Yoman tentang perhatian yang harus diberikan kepada mama-mama asli Papua. DPRP harus berjuang untuk mama-mama asli Papua yang berjualan di depan Galael itu.
2. Saya juga sependapat dengan kata-kata penegakan HAM di Papua. Beliau menyampaikan bahwa di depertemen hukum dan ham ada Panitia Tetap (Pantap) yang telah dibentuk untuk menampung aspirasi HAM dari masyarakat. Selama ini kami sudah bekerja sama dengan beberapa NGO yang ada di Papua. Oleh karena itu mari kita gereja dan DPRP bekerja sama untuk itu.
3. Anda yang jadi dewan adalah orang asli Papua. Otonomi khusus dihadirkan untuk orang asli Papua. Anda harus merubah semua aturan-aturan yang mematikan lajunya kehidupan orang Papua. Agar dierah Otsus ini orang Papua bisa sejahtera dan damai.
4. Kepada anggota dewan yang terpilih kami minta supaya HPnya selalu aktif untuk menerima aspirasi dari masyarakat. Saya sendiri juga selalu akatifkan HP saya dan selalu bersedia menerima aspirasi dari masyarakat.

Berikutnya sambutan mewakili para anggota dewan disampaikan oleh Yunus Wenda. Sambutannya diawali dengan salam damai ala berbagai suku asli di Papua. Hanya dua hal yang disampaikannya, yaitu:1) Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh masyarakat pegunungan tengah yang telah mendukung kami dengan memberikan suara pada saat pemilu lalu. 2) Kalau hari ini kami bisa kasih makan banyak orang kami akan buktikan di DPRP nanti.

Terakhir pak Yoman diberi kesempatan tuk menyampaikan pesan-pesan mewakili PGGP. Pesan-pesannya sebagai berikut :
1. Kalian anggota parlemen harus selalu ada di hati Tuhan Allah dan hati rakyat. Karena kalian diutus oleh Allah dan Rakyat buatlah mereka tersenyum dan bangkitkan mereka dari kebisuannya.
2. Tolong perjuangkan nasib mama-mama asli Papua yang berjualan didepan Galael Jayapura yang beralaskan daun pisang. Semua pejabat dok II lewat disitu tapi tidak peduli. Seolah-olah orang buta yang lewat disitu.
3. Tolong perjuangkan agar Yusak Pakage, Philep Karma dkk, agar dibebaskan sebab negara ini negara demokrasi.
4. Tolong pikirkan tanah-tanah rakyat yang diambil ahli oleh pemerintah atas nama pembangunan. Usahakan supaya hak pemilikan terhadap tanah itu kembali kepada masyarakat yang punya hak milik.
5. Tolong tinjau penanaman kelapa sawit di Arso dan beberapa tempat di Papua. Apakah itu menguntungkan orang asli atau merugikan?
6. Lihatlah kembali para pemegang HPH yang sudah ada, apakah selama ini rakyat diuntungkan atau tidak. Jika ada pemegang HPH yang hendak masuk tolong periksa baik-baik mereka itu.
7. Banyak ruko-ruko telah dibangun disepanjang jalan Jayapura Sentani, tolong diperiksa adakah orang Papua yang punya, adakah orang Papua bekerja didalamnya?
8. Kami gereja menyeruhkan kepada semua kepala-kepala suku di tanah Papua agar tidak menjual tanah. Tanah itu mama, tempat kita hidup, berpijak dan berkarya jangan di perjual-belikan. Pertahankan dia.
9. Kami gereja dan masyarakat Papua menyeruhkan agar anggota parlemen yang baru tidak memperjuangkan pemekaran kabupaten/kota yang baru. Kehadiran pemekaran kabupaten ini justru membelah kita orang Papua sehingga kita terpecah-pecah, ruang gerak rakyat untuk mencari nafkah di hutan terbatasi, dll. Sekali lagi kami minta jangan ada yang berjuang untuk itu.
10. Tolong kembalikan keaslian di tanah Papua. Tempat-tempat publik dan nama-nama jalan raya harus diberi nama asli Papua. Misalnya jalan Yosudarso diganti dengan jalan Theys Eluay, dll.


Setelah kegiatan selesai semua masyarakat yang hadir di pulangkan dengan 10 buah truk ditambah tiga buah bus. Banyak juga yang pulang mengunakan kendaraan umum seperti taksi.

by Naftali Edoway

Samakah Tuhanku dan Tuhanmu ?

Fatchurrachman
| 28 Oktober 2009 | 7:14
Sebarkan Tulisan:


Dalam suatu obrolan ringan dengan kawan baikku, mendadak dia melontarkan sebuah pertanyaan yang mengejutkan : “ Bung, apakah Tuhanku dan Tuhanmu sama ?”.

Terus terang, pertanyaan itu membuatku terpana. Pertama, karena kawan baikku itu adalah pemeluk agama yang berbeda dengan agama yang aku peluk. Dia Nasrani dan aku Muslim. Kami memang sering sekali ngobrol berlama-lama karena Tuhan menakdirkan kami bertetangga. Biasanya, kami sering ngobrol bertiga dengan seorang kawan dan tetangga baikku yang beragama Hindu, karena dia orang Bali. Tetapi, kami tidak pernah membicarakan hal-hal yang sensitif. Maka, ketika dia bertanya kepadaku, apakah Tuhanku dan Tuhanmu sama, aku jadi terpana. Benar-benar terpana.

Kedua, sudah terlanjur ada stigma di tengah masyarakat bahwa setiap agama memiliki dan menyembah Tuhannya masing-masing. Bahkan yang lebih ekstrim, ada yang terlanjur melontarkan klaim bahwa dalam agama yang dianutnya itu hanya mengenal satu Tuhan dan disebutnya sebagai agama tauhid. Lalu pada saat yang bersamaan, dia menuduh agama lainnya mengenal dan menyembah lebih dari satu Tuhan.

Ya. Dua alasan itulah yang menyebabkan aku terpana. Bagaimana aku harus menjawab ? Aku tentu tidak boleh mengecewakan kawan baik sekaligus tetanggaku ini, karena kulihat dia amat serius ingin mendengarnya.

Akhirnya kukatakan kepadanya : ” sebelum aku menjawab, Bung, tolong beritahu aku, ada berapa Tuhan yang menciptakan dan mengatur alam semesta dan seluruh isinya ini ?”. Dan dia tidak ragu-ragu menjawab, ”hanya ada satu Tuhan”, katanya, sehingga dengan cepat pula aku menjawab, ”kalau begitu Tuhanku dan Tuhanmu sama, Bung.”

Kendati masih menyisakan tandatanya, tetapi kawan baikku ini sudah dapat menyimpulkan, bagaimana mungkin Zat yang mengatur alam semesta ini lebih dari satu. Bisa kacau balau. Padahal kenyataannya, alam semesta dan seluruh isinya berjalan teratur, serasi dan harmonis. Matahari selalu terbit dari ufuk timur dan tenggelam di barat. Atau istilah yang lebih tepat, matahari selalu terbit di tempat yang kita persepsikan sebagai timur dan tenggelam di tempat yang kita persepsikan sebagai barat. Karena hakikatnya mana timur dan mana barat pun sulit untuk disebut. Penyebutan timur dan barat itu lebih karena kesepakatan manusia.

Coba kita perhatikan, ketika matahari terbenam di belahan bumi yang kita huni, kita menyebutnya tempat itu adalah barat. Tetapi pada saat yang bersamaan, di belahan bumi lainnya, orang menyaksikan matahari terbit dan penduduk belahan bumi itu menyebut tempat itu adalah timur. Jadi, mana barat dan mana timur kalau begitu ?

Kembali pada teman baikku. Tampaknya dia masih belum faham juga dengan jawabanku, maka kukatakan kepadanya, ”jika Anda sudah mengenal Tuhan, Bung, dan aku juga sudah mengenal Tuhan, maka Tuhanmu dan Tuhanku itu sama. Tetapi jika Bung belum kenal Tuhan dan aku pun belum kenal Tuhan, maka Tuhan kita berbeda. Orang yang sudah mengenal Tuhan tidak akan mengatakan Tuhanku dan Tuhanmu berbeda, karena Tuhan memang esa, tunggal, ahad. Sebaliknya, orang yang belum kenal Tuhan, dia akan mengatakan, Tuhanku dan Tuhanmu berbeda, karena dia selalu beranggapan bahwa Tuhan itu hanya miliknya, bukan milik manusia lain yang berbeda agama dan keyakinan.

Aku katakan kepadanya, pembicaraan ini sangat sensitif, sehingga kita tidak perlu memperdebatkannya panjang lebar. Barangkali yang lebih penting adalah, kita semua menyadari bahwa Tuhan itu Esa, bahkan Maha Esa, tidak berbilang, tidak dapat disetarakan dengan segala sesuatu. Tuhan itu Maha Tunggal, Dia tempat bergantung semua mahluk, Dia yang menciptakan langit, bumi dan segala isinya.

Tetapi, kata kawan baikku, bagaimana mungkin Tuhanku dan Tuhanmu itu sama, karena bukankah kita menyebut Tuhan dengan sebutan yang berbeda ? Ada yang menyebut Allah, ada yang menyebut Sang Hyang Widi Wasa, ada yang menyebut Allah Bapa, dan sebutan-sebutan lain. Kenapa bisa begitu ?

Aku katakan kepadanya, Tuhan itu tunggal, sehingga Dia itu universal. Zat yang tunggal dan universal bisa disebut dengan sebutan apa saja oleh manusia yang akan menyebutnya. Contohnya air. Di mana pun wujud benda cair yang kita sebut air itu sama. Tetapi orang Jawa menyebutnya banyu, orang Sunda menyebutnya cai, orang Inggris menyebutnya water, dan sebutan-sebutan lain menurut bahasa lokalnya sendiri-sendiri. Tidak ada yang dapat mengklaim bahwa sebutannyalah yang paling benar.

Contoh lainnya adalah bulan. Orang Arab menyebutnya al-qomar, orang Inggris menyebutnya moon, orang Jawa menyebutnya wulan, dalam bahasa Kawi disebutnya candra dan sebutan-sebutan lokal lain yang berbeda satu sama lain untuk zat yang satu dan universal.

Jadi Bung, mengapa kita musti menghakimi dan mengklaim bahwa sebutan kita yang paling benar ? Yang dapat kita lakukan adalah menyerahkan semuanya kepada Tuhan sendiri.

Wallohua’lam. Hanya Tuhan Yang Maha Tahu. *****

Diambil dari Kompas tanggal, 28 oktober 2009

Minggu, 18 Oktober 2009

MENGENANG PAULO FREIRE TOKOH PENDIDIK MULTICULTURAL

Oleh : Hawad Sryantho

Aktivis Sebuah Lembaga Advokasi Kemasyarakatan; Tinggal di Pontiak, Kalimatan Barat


Prof. Dr.Paulo Freire yang terkenal luas sebagai pendidik multicultural, telah tiada. Lebih dari sebulan lalu, 2 Mei 1997, beliau wafat dalam usia 75 tahun di Sao Paulo, Brasil.

Paulo Freire dikenal sebagai pendidik yang mendudukan masalah pendidikan masyarakat sebagai bagian dari proses pembaharuan kebudayaan. Menurut tokoh pemberantas buta huruf dari Brasil ini, definisi dari pendidikan klasik perlu ditinjau kembali dalam konteks social budaya dunia ketiga. Pendidikan seharusnya terutama dilihat dari perspektif pembebasan.

Dilahirkan di Recife, Brasil, pada 15 September 1921, masa kecil Paulo Reglus Neves Freire banyak ditandai oleh situasi kemiskinan. Sebagai anak kecil pernah mengalami kelaparan setelah keluarganya hancur akibat krisis ekonomi Brasil pada tahun 1929. Dalam usia 11 tahun ia kemudian bersumpah untuk mengabdikan hidupnya bagi perjuangan melawan kelaparan. Ia ikut kursus pengacara, tetapi mengundurkan diri setelah mendapatkan sertifikat. Profesi pengacara ternyata lebih banyak melayani mereka yang kuat dari pada mereka yang tertindas. Freire kemudian mengikuti kursus mengajar dan mengabdikan hidupnya bagi pendidikan baca tulis orang dewasa.

Metode pendidikan yang dikembangkan oleh Freire memang unik. Salah satu yang utama adalah teori konsientisasi (penyadaran), yang kemudian diuraikannya dalam buku klasiknya “the pedagogy of the oppressed”, yang sudah diterjemahkan dalam 17 bahasa (termasuk bahasa Indonesia). Melalui teory konsientisasi itu seorang pendidik harus menggunakan dialog dan kata-kata kunci yang memiliki makna yang terkait dengan kehidupan sehari-hari, sebagai dasar bagi pembelajaran baca tulis rakyat. Freire yajin ada korelasi antara ketidak-mampuan baca tulis dengan kurangnya kesadaran akan situasi mereka yang tertindas.

Pada eksperimen pertama pengunaan metode itu pada tahun 1963. Freire mampu mengajar 300 orang dewasa untuk membaca dan menulis dalam tempo 45 hari. Mereka itu tidak sekedar melek huruf, tapi juga ini lebih penting melek situasi dan menyadari keadaan hidup mereka sehari-hari (yang tertindas). Keberhasilan freire ini membuat propinsi pernambuco dibarat daya brasil kemudian mengunakan metode tersebut guna pendidikan masyarakat. Namun setelah kudeta militer di barsil pada tahun 1964, teori dan metode pendidikan Freire ini dilarang. Regim militer baru itu mencap metode tersebut berbau “komunis”. Dan Paulo Freire pun dipenjara selama 70 hari. Setelah itu ia pun harus hidup dalam pengasingan diluar negeri selama 16 tahun.

Saat awal pengasingannya Freire mengatakan “Aku dihukum karena memperlihatkan bahwa penderitaaan mereka yang kelaparan itu bukanlah akibat murka Allah, melainkan akibat kurangnya kesadaran rakayat yang hidup tanpa kemampuan baca tulis”. Tahun 1980 setelah Amnesty diumumkan di Brasil, Freire kembali pulang dan menjadi professor pada Universitas Katolik di Sao PAULO. Ia juga menjadi direktur institut pendidikan sekaligus sekertaris pendidikan Kotamadya di Soa Paulo.


***

Meskipun Paulo Freire telah tiada, namun pemikirannya sangat berpengaruh bagi negara-negara sedang berkembang dan negara-negara maju. Metode konsientisasi sangat bermakna bagi para guru, pendidik masyarakat, politikus, pekerja social, perencana kota dan kalangan birokrat khusunya dalam usaha memperbaharui dunia pendidikan nasional.

Dalam kipranya sebagai pendidik, Freire juga menjadi konsultan pada kementerian pendidikan di Cile. Ia juga bekerja untuk UNESCO serta guru besar tamu pada Harvard University, AS. Dari tahun 1970 sampai 1980- saat dalam pengasingan- Freire juga menjadi konsultan khusus bidang pendidikan pada Dewan Gereja Dunia (DGD) di Genewa swiss, dan professor pada fakultas pendidikan di Universitas Geneva. “keprihatinan saya adalah untuk orang-orang miskin di dunia. Saya memutuskan membantu DGD demi revolusi”. Demikian kata freire saat ia bergabung dengan DGD. Memang pada periode pengasingan itu, Freire banyak menjadi konsultan pendidikan pengembara yang bekerja di Afrika, dibekas negara-negara portugis tahun 1974, dan juga di negara-negara Amerika Latin, termasuk Nikaragua zaman regim Sandinista.

Pada awal keterlibatannya Freire di DGD, dimana tergabung gereja-gereja dari Protestan, Anglikan dan Ortodoks, mendapat kecaman keras dari Karl Gottschald, Presiden gereja Lutheran di Brasil dan juga anggota Komite Eksekutif DGD. Ia memprotes agar pengangkatan Freire dibatalkan. Namun, kendati berbagai protes keras dari kelompok yang pro Gottschald, DGD tetap saja mempertahankan keputusannya. Dan Freire memang terbukti menjadi figur paling terkenal di DGD.

Dalam penghormatan saat pemakaman Paulo Freire lalu, sekjen DGD, Konrad Raiser mengatakan: “DGD telah menerima benih-benih inspirasi Freire selama keterlibatannya dalam staf DGD pada tahun 1970-an. DGD merasa amat kehilangan seorang sahabat dan seorang yang memiliki pemikiran besar dan berpengaruh abad ini. Paulo Freire sangat mempengaruhi orientasi dan metodologi pendidikan oikomenis. Kami banyak berutang pada pemikirannya”.

***

Paulo Regius Neves Freire memang telah tiada. Namun kita masih sempat banyak belajar melalui karya-karyanya. Karya-karya Freire yang amat terkenal itu, antara lain: Pedagogy of the Oppressed (1970), Cultural Action for freedom (1970). Education for Critical Consciousness ( 1973), dan Education: the practice of freedom (1976). Berkat gagasan-gagasan dalam buku-buku itulah, berbagai usaha pendidikan dan penyadaran dikalangan masyarakat miskin mengalami kemajuan yang mencolok. Melalui Paulo Freire muncullah berbagai alternative metode pendidikan yang sangat menekankan manusia sebagai subyek perubahan. Terima kasih “Guru”.

Diambil dari Bulletin Deiyai No. 5 II/Mei-Juni 1997, hal. 11-13

Jumat, 16 Oktober 2009

10 TAHUN STT WALTER POST JAYAPURA DAN TRANSFORMASI KEBUDAYAAN MASYARAKAT PAPUA BARAT

Oleh Pdt.Dr.Benny Giay, Ph.D

STT Walter Post Jayapura melaksanakan wisuda kelima, di gedung Gereja Bethesda, Jl. Sekolah Abepura, Pada 14 Juli 1996 lalu, tepat 10 setelah lembaga pendidikan teologi ini didirikan. Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan "apa yang menjadi orientasi, cita-cita dan misi lembaga pendidikan ini "sebagai refleksi atas 10 tahun berdirinya STT ini. Muda-mudahan renungan ini akan bermanfaat bagi wadah pendidikan lain di daerah ini.

1. Sejarah

Sekolah Teologi Walter Post Jayapura, didirikan dalam bulan Juni 1986 di Abepura. Belum ada kampusnya waktu itu. Gedung Gereja Bethesda yang terletak di jalan Sekolah No.21 Abepura dipakai sebagai ruang kuliah. Mahasiswa yang kuliah penuh tidak lebih dari 30 orang pada tahap ini. Kegiatan kuliah diadakan pada sore hari. Wisuda perdana diadakan di gedung Gereja Bethesda dalam bulan Juni 1990.

Dalam bulan Agustus, 1990, kampus sekolah dipindahkan ke Kampung Harapan Sentani. Ini berarti STT ini membuka lembaran baru dalam sejarah perjalanannya. Karena ia telah mandiri, dalam arti telah memiliki kampus sendiri. Pembangunan asrama mahasiswa ( baik bujang maupun keluarga), ruang kuliah dan perpustakaan dimulai.

Sementara itu pembangunan Gedung Administrasi, Kantor, dilokasi kampus yang sekarang dihentikan. Karena dalam tahun 1997, STT ini akan mendapat hiba kampus yang baru yang terletak di Pos 7 Sentani. Kampus itu sendiri duluhnya adalah sekolah untuk anak-anak penyiar injil yang berkarya di daerah ini. Tahun depan sekolah ini akan berpindah ke lokasi baru yaitu Pos 7 Sentani.

Melihat kebelakang telah banyak kemajuan. Tenaga dosen dalam tahun 1986 hanya berjumlah 5 orang tahun ini telah bertambah menjadi 13 orang. Malahan dalam tahun ajaran 1996/1997 ini sekolah ini akan menambah satu tenaga dosen baru Ny. Chiristina Nawipa, ME.M selain Jhon Doyapo dan ibu yang akan kembali dari studinya. Demikian pula jumlah mahasiswa bertambah dari 30 orang dalam tahun 1986 menjadi 145 mahasiswa dalam tahun 1996/1997 ini. Benar-benar suatu kemajuan. Sebagai perintis sekolah ini saya merasa bangga karena minimal telah berbuat sesuatu untuk masyarakat gereja, dan ( mungkin juga telah) menciptakan lapangan kerja (?). Tetapi setelah 10 tahun SST ini berkarya mungkin ini saatnya, ia bertanya “apa yang menjadi orientasi dan cita-cita lembaga pendidikan ini? Apa misinya? Pertanyaan ini perlu dijawab sehubungan dengan kehadirannya di daerah ini satu dekade terakhir ini.

2. Orientasi Lembaga Pendidikan Dewasa Ini

Dilihat dari misi yang diembannya lembaga pendidikan apa pun yang ada dewasa ini dapat dilihat sebagai : a) lembaga “adat”, b) sarana transformasi, c) dan lembaga “adat”yang transformatif.

a. Lembaga “ädat”

Sekolah itu dapat dipandang sebagai “adat”: lembaga yang ditetapkan masyarakat pendukung untuk melestarikan anggapan-anggapan, nilai-nilai kehidupan spiritual, social dan budaya yang diwariskan turun-temurun baik secara lisan maupun tertulis dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam hal ini sekolah ini menjadi wadah penerus dan pewaris nilai-nilai, dan aspirasi social keagamaan yang dianggap penting bagi kelanjutan hidup masyarakat pendukungnya. Lembaga pendidikan model ini tidak dapat berbuat lain selain mengkemas aspirasi, visi dan pengalaman sejarah dari kelompok pendukungnya lalu memasarkannya.

Dari sudut pandang ini, lembaga pendidikan yang kita bicarakan ini telah menjalankan misinya sebagai lembaga adat. Ia telah mengambil bagian dalam mewariskan kemasan teologi “golongan injili sedunia” dan menyuarakannya dibagian dunia ini. Minimal secara lembaga masyarakat gereja mengakui hal ini secara lembaga, walaupun umat dilapangan tidak mengkopi (seluruh) kemasan teologi seperti itu. Tetapi sekali lagi sampai sejauh ini kita dapat melihat sekolah ini sebagai wadah penerus nilai, dan teologi serta keprihatinan kelompok “suku injili”. Dalam situasi ini STT perlu mawas diri agar tidak dihayutkan “pandangan teologi injili”yang berorientasi spritualitas yang individualistis dan “kebahagiaan disurga sana”; dan tidak tertarik pada perjuangan umat manusia di dunia ini menghadapi kekuatan-kekuatan sosial, politik dan keagamaan.

Dikatakan “mawas diri” karena: (a) STT/Gereja dipanggil untuk mengemban amanat Kristus untuk menjadi “garam dan terang dunia”. Gereja terbentuk karena panggilan pertobatan (panggilan untuk datang) kepada Kristus, tetapi gereja telah diutus kembali kedalam dunia sehingga dapat menjadi terang dan garam dunia. Mungkinkah gereja memerlukan pertobatan kedua? Misalnya dengan mencoba memperbaiki “definisi tradisional gereja” sebagai orang-orang yang dipanggil keluar. Menjadi komunitas orang-orang yang dipanggil keluar dari dan kemuadian dikirim ke dunia”. (b) kita perlu mawas diri karena teologi injili ini mungkin juga dapat menjadi siasat menghadapi modernisasi yang sedang terjadi dewasa ini. Mengapa? Pemikiran teologi injili sering membuat orang lari dari kenyataan dunia. Karena itu dalam menghayati amanat tadi, ia perlu menyiasati amanat tadi. (c) masyarakat gereja Papua Barat telah lama menjadi obyek kegiatan propaganda para penyiar injil. STT dan gereja perlu mendidik warga jemaat agar perlu melihat dirinya sebagai subyek yang mampu berteologi dalam konteks Papua yang sedang membangun sambil mempertahankan identitasnya sebagai gereja injili. Ini berarti lembaga pendidikan seperti STT Walter Post menghadapi kegiatan pembangunan secara serius dan menyiasatinya dengan mengadakan perombakan kurikulum yang pas. Ini dikatakan demikian karena dunia tempat ia berkarya ini dalam konteks membangun. STT ini dan warga jemaat KIngmi yang ada didalamnya tidak mungkin menghindar lagi karena ia tidak hidup di pulau terpisah dari kegiatan pembangunan dewasa ini.

Selama ia tidak jelih terhadap perubahan dan tuntutan masyarakat, lembaga pendidikan ini sama halnya dengan “lembaga adat” yang telah ada di daerah ini sebelum kedatang utusan injil. Dalam banyak lembaga pendidikan tradisional seperti yang terdapat di Papua Barat, yang misinya semata-mata sebagai penerus nilai dan adat suku daerah ini. Lembaga adat (pendidikan tradisional) seperti ini diantara orang Sentani, diselenggarahkan dalam sebuah “rumah adat” besar yang disebut Kariwari (rumah mahluk roh). Tokoh-tokoh masyarakat Sentani dalam masa itu menggunakan lembaga/gedung ini untuk mengalih-generasikan nilai-nilai sosial dan spritualitas melalui sejumlah latihan dan upacara inisiasi yang diadakan selama jangkah waktu tertentu, digedung besar tadi. Kariwari ini dihancurkan oleh masyarakat pendukungnya pada tahun 1930-an atas anjuran Pamai Jakadewa seorang pemimpin Gerakan Keselamatan dari Ormu, Jayapura. (lihat Bijkerk tentang Pamai dalam Kama, Kruis an Korwar, 1953). Pendidikan selama dalam masa inisiasi di Kariwari ini diarahkan supaya generasi muda menghafal pandangan dan tata kehidupan masyarakat. Sebagaimana lembaga adat Kariwari, wadah pendidikan telogi ini tidak akan mampu menyiapkan masyarakat untuk menyikapi dan bahkan mengambil peran dalam merancang perubahan-perubahan besar yang akan terjadi.

b. Sarana Transformasi

Wadah pendidikan dapat juga dipandang sebagai saran transformasi aspirasi dan kebudayaan suatu kelompok masyarakat. Dalam prespektif ini masyarakat menjadi lebih kritis terhadap nilai budaya, religi dan pemahaman sejarah kelompok masyarakat tertentu. Sekolah menjadi instrument untuk merombak status quo pemikiran masyarakat yang ada dan lembaga tradisional. Wadah pendidikan demikian sering menolak jatih diri dan adat masa lampau masyarakat; karena nilai spritual dan budaya lembaga demikian dipandangnya sebagai penghambat kebebasan manusia. Lembaga pendidikan diadakan untuk menggugah masyarakat agar mereka bangkit ikut membangun masyarakat dan dunia baru. Untuk mengkonkritkan apa yang sedang dibahas disini, kami akan memberi beberapa contoh.

1. Pertama kita mengambil sistem pendidikan nasional yang dijalankan dalam negara ini yang kewalahan menghadapi dunia modern dengan segala nilai-nilai hidup yang bertentangan dengan kebudayaan tradisional, merumuskan apa yang mereka sebut sebagai “kebudayaan nasional”. Kebudayaan nasional ini yang sedang dimasyarakatkan dewasa ini melalui lembaga pendidikan nasional dengan harapan akan menggantikan budaya tradisional Indonesia yang berorientasi ke budaya suku dan local. Tujuannya ialah menyiapkan masyarakat menghadapi modernisasi. Perancang kebijakan pendidikan di Indonesia memandang kebudayaan lokal sebagai penghambat masyarakat mengahadapi modernisasi ( lihat misalnya Michael Dove, The Real and Imagined Role of Culture in Development, 1988; Colleta & Umur kayam, kebudayaan dan pembangunan, 1987). Pendidikan dilihat sebagai instrument untuk mentransformasikan suku dan etnis tadi dalam menyiapkan masyarakat menghadapi era globalisasi.

2. Bonhoffer, (1906-1945) seorang teolog modern asal Jerman yang melihat sekolah sebagai strategi untuk transformasi pemikiran kelompok, mendirikan sebuah seminari teologi untuk mengkader calon-calon gembala jemaat/petugas gereja yang akan pergi mentransformasikan teologi gereja Jerman yang telah terkontaminasi ideology Nazi. ( lihat bukunya The Cost of Disciplenship, 1948; Letters and Papers From Prison, 1953). Gereja Jerman pada saat itu telah hanyut terbawa arus pemikiran ideology Nazisme sehingga tidak berdaya menolaknya dan sebaliknya gereja mengipasi dan menyokong peyebarannya. Sang teolog yang ditangkap Gestapo dan dibunuh dalam bulan April 1945 itu mendirikan lembaga pendidikan untuk menghentikan penyebaran ideology Nazi membelokkan arah pemikiran teologis bangsa Jerman.

c. Lembaga adat yang transformatif

Saya sendiri melihat misi wadah pendidikan dewasa ini sebagai lembaga adat yang mempunyai peranan menggumuli dan mewariskan dogma, visi dan pengalama masa lampau kamunitas pendukung tetapi pada saat yang sama mengemban misi transformasi kebudayaan dan pemikiran kelompok yang bersifat mengekang kebebasan dan perkembangan hidup manusia dalam arti yang luas. Pembangunan dan globalisasi seperti sekarang ini, menuntut kita untuk menggali dan mengangkat warisan spiritual, visi dan warisan sejarah kelompok kita agar kita memiliki tempat berpijak yang tepat untuk menghadapi perubahan-perubahan yang sedang terjadi.

Tetapi tidak membiarkan kesibukan mengurus dogma serta visi demikian memenjarahkan dia dari dunia dan perkembangan yang sedang terjadi di dunia ini. Gereja tidak hanya menonton tetapi terlibat dalam mempengaruhi perubahan-perubahan dalam masyarakat. Dengan perkataan lain masalah iman kepada Kristus yang diakui gereja “tidak hanya semata-mata sebagai urusan: kebenaran Allah dan rasul-rasulnya, tetapi sebagai masalah berbuat secara nyata dalam dunia. Iman, bukan hanya mempersiapkan diri untuk alam baka, tapi masalah membangun dunia yang adil. Dari konteplasi, agama menjadi aksi…meminjam kata-kata Arief Budiman. (Kata Pengantar, Arief Budiman, dalam JB. Banawiratama, Iman Pendidikan dan Perubahan Social, 1991).

Pemikiran ini dilandasi kenyataan bahwa masyarakat pendukung sekolah ini adalah masyarakat pinggiran, orang pedalaman yang sedang mengalami proses transisi dari kehidupan yang berorientasi lokal kepada kehidupan budaya dan ekonomi modern. Basis dan kekuatan sekolah ini ialah komunitas-komunitas Kristen yang tersebar di daerah pedesaan, dengan ekonomi subsistence. Masalah yang kita hadapi ialah mampukah lembaga pendidikan ini mencetak kader-kader petugas gereja yang siap untuk mendampingi warga jemaat yang tinggal di desa-desa di pinggiran kota untuk menghadapi kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik yang sedang mengeksploitasi keterbelakangan warga masyarakat agama ini.

Keprihatinan serupa telah mempengaruhi perjuangan sebuah lembaga pendidikan injili di negara paman Sam: Fuller Theological seminary sebagaimana dijelaskansecara gamblang oleh George Marsden, seorang sejarawan dan pakar Fundamentalisme. (lihat Reforming Fundamentalism, 1987; Fundamentalis and American culture, 1980) lembaga pendidikan yang menjadi almamater tokoh-tokoh gereja Indonesia seperti; Dr.Patiasina ( sekum PGI), Dr.Anggu (Ketua STT Jaffray Ujung Pandang), Dr.Yoppie Tomatala ( Retor Institute Filsafat Teologi dan Kepemimpinan, Jakarta) ini sejak didirikannya berupaya untuk mempertahankan adat dan teologi injilli. Tetapi orang-orang besar dibelakang wadah ini menyadari bahwa Fuller seminary ini bukan lagi berkarya di pulau dan terpisah dari masyarakat. Lembaga ini adalah bagian dari kebudayaan dan masyarakat Amerika/dunia yang seklaigus dipanggil untuk mengembalakan warga masyarakat itu yang diperhadapkan dengan perubahan-perubahan yang drastis dalam dunia ini akibat penemuan baru dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.

Menyikapi tuntutan dan perubahan kebudayaan ini sebagian gereja dan oknum yang mempunyai andil dalam pendirian lembaga tadi, berjuang agar sekolah itu “hanya berfungsi sebagai lembaga adat”. Artinya mereka tidak mau ambil pusing dengan perkembangan yang sedang terjadi di Amerika dan dunia khususnya dalam tahuan 1950-an hingga tahun 1970an. Mereka menutup diri dari dunia dan melihat Fuller Seminary sebagai lembaga pendidikan “yang mengurus soal-soal dogma dan tradisi injili”.

Sebagian lagi berjuang untuk lebih membuka diri kepada tuntutan dan berupaya mengembangkan kurikulum pendidikan untuk menjawab tuntutan masyarakat. Akhirnya kelompok yang disebutkan terakhir ini menang dan beberapa departemen baru dibuka sebagai bagian dari pendidikan Seminary itu. Rencana pelajaran yang tadinya dimonopoli materi biblika dan teologi dirombak dan dirombak. Sebagai akibatnya beberapa departemen baru dibuka seperti : Antropologi dan Komunikasi Lintas Budaya, Psikologi, Pengembangan Masyarakat, dst. Perombakan terhadap kurikulum “tradisional”ini dilaksanakan tetapi tanpa kehilangan jatih diri injili. Dewasa ini teolog-teolog dan pemikir yang menjadi motor perombakan kurikulum sekolah ini dikenal sebagai penganut aliran teologi: Neo-Evangelicalism (Neo-Injili). Sekolah ini dapat dilihat sebagai “lembaga adat yang transformatif”.

Terakhir kami tampilkan visi seorang pastor yang melihat pendidikan sebagai lembaga adat yang transformatif. Pastor Fransiscus Van Lith lahir di Oirschot, Belanda datang ke Jawa 1896 dan meninggal dunia di Semarang kemudian dikuburkan di Muntilan pada tahun 1926. Bagi pastor ini Iman kepada Kristus itu ialah dasar pemikiran dan kehidupan. Orang tidak mungkin hidup tanpa Iman. Tetapi baginya penghayatan Iman itu harus mendapat wujud dan karya nyata melalui lembaga pendidikan yang dibinanya dengan tujuan untuk menghasilkan pelaku-pelaku perubahan social.

Visinya tentang misi dari lembaga pendidikan itu diungkapkan melalui pengamatan berikut: pada suatu hari Van Lith melihat seorang murid bertindak sebagai komandan barisan di halaman suatu sekolah. Murid itu memberi aba-aba tegas dan teman-temannya menjalankan perintahnya secara tertib dan teratur. Hal semacam itu tidak biasa pada orang Jawa golongan tua. Pada waktu itu ia berpikir: “beginilah perubahan mentalitas orang Jawa, berkat pendidikan”. Artinya menurut Van Lith pemikiran dan budaya orang Jawa dapat diubah dengan pendidikan. Dengan pandangan seperti itu, Van Lith Membennahi kurikulum sekolah guru ( Kweekschool) yang diasuhnya. Salah satu langkah yang diambil pada waktu itu ialah memasukan pelajaran bahasa asing: bahasa Belanda yang dianggapnya sebagai faktor penting. Kemampuan berbahasa Belanda dilihatnya sebagai kunci untuk mengadakan perubahan sosial. Dengan kemampuan berbahasa itu katanya orang Jawa akan dapat semakin mengerti perkembangan barat dan semakin ikut ambil bagian dalam kakuasaan. Dengan perkataan lain orang Jawa akan turut menentukan masa depan dan pemerintahan menuju pemerintahan yang berdiri sendiri.

Kemampuan berbahasa Belanda merupakan sarana untuk memasuki kebudayaan Belanda. Kebudayaan luar disatu pihak dibenci dan dilain pihak tidak didewakan. Kebudayaan luar dipakai sebagai sarana pembanding bagi pengembangan kebudayaan sendiri. Kebudayaan sendiri ditumbuhkan dan dihidupkan dengan dirangsang dan dibuahi dari luar. Dengan membandingkan kebudayaannya sendiri dengan kebudayaan asing diharapkan, bahwa orang Jawa dibangkitkan untuk menghidupkan kembali kebudayaan timur yang khas. (lihat J.B. Banawiratma, Iman, Pendidikan dan Perubahan Sosial, 1991).

Setelah 10 tahun ini, mugkinkah STT Walter Post Jayapura menjadi lembaga adat yang transformatif? Atau dengan perkataan lain “apakah mungkin wadah pendidikan ini menjadi lembaga pendidikan teologi yang mempunyai misi dan orientasi mengadakan perubahan sosial sambil mempertahankan jath dirinya sebagai lembaga pendidikan injili ?

Kepustakaan:


Banawiratma. Iman, Pendidikan dan Perubahan Social, Yogyakarta: Kanisius, 1999

Bijkerk. Pamai, dalam F.C.Kamma, Kruis en Korwar. Den Haag: Voorhoeve, 1953

Marsden, G. Reforming Fundamentalism, Fuller Seminary and the New Evangelicalism. Grand Rapids: Eerdmans, 1987

……….., Fundamentalism and American Culture. Oxford: oxford University Press. 1982



Diambil dari Bulletin Deiyai no. 5/ thn.1/Mei-Juni 1996. Hal.13-19

Sabtu, 10 Oktober 2009

Profil Sekolah

· Bulan Juni tahun 1986 STT-WP mulai berdiri di tanah Papua dengan program kelas jauh dari STT Jafray Makasar. Kuliah di pusatkan di gedung gereja Kingmi Bethesda Abepura.

· Juni 1987 STT-WP lepas dari STT Jafray dan mulai mandiri.

· Juni 1989 STT-WP untuk pertama kalinya mengadakan upacara wisuda untuk program D III. Ketua sekolah pada saat itu adalah Pdt. DR. Benny Giay.

· Juni 1989 Kampus STT-WP yang tadinya di Jl. Sekolah Abepura dipindahkan ke Puspigra kampung harapan.

· Juni 1992 Wisuda perdana untuk program S-1 dilaksanakan. Ketua sekolah pada saat itu adalah bapak Hendrik Jacob.

· Juni tahun 1999 Kampus STT-WP pindah ke Pos 7 sentani. Bersamaan dengan itu program Pak & Teologi S-1 di akreditasi dengan status terdaftar.

· Agustus 1999 program S-2 Gereja & Masyarakat dibuka. Mulai saat itu mata kuliah gereja & masyarakat pun diajarkan di Program S-1.

· Wisuda perdana S-2 dilaksanakan dalam bulan juni 2002. Sekitar 10 orang diwisudakan dengan gelar “MA”.

· Tahun 2009 STT-WP melakukan terobosan baru dengan menambah satu program untuk S-2 Program M.Th & membuka program Doktoral pada spesialisasi Sejarah Gereja & Budaya Papua. Ada sekitar 10 orang sedang aktif mengikuti kuliah pada program doctoral ini, sementara untuk program S-2 ada 11 orang yang sedang aktif mengikuti perkuliahan.

· Mei 2000 pak Hendrik Jacob lengser dari jabatannya sebagai ketua sekolah . Kemudian jabatan ketua dilanjtkan oleh Pdt.DR. Noakh Nawipa sebagai pejabat sementara hingga tahun 2002.

· Tahun 2002 pada konferensi wilayah di Nabire Pdt. DR. Noakh Nawipa diangkat dan ditetapkan sebagai ketua sekolah devinitif hingga hari ini.

· Tahun 2007 jurusan teologi mendapat status diakui dari Depag RI.

Tahun ini jumlah mahasiswa baru yang mendaftar untuk program S-1 sebanyak 34 orang. Jumlah mahasiswa S-2 sebanyak 11 orang dan S-3 sebanyak 11 orang. Jumlah keseluruhan mahasiswa yang aktif kuliah pada tahun ajaran 2009/2010 adalah sebanyak 133 orang.

Sekolah ini memiliki fasilitas sebagai berikut :

1. Satu buah gedung administrasi

2. Satu ruang perpustakaan

3. Satu gedung aula

4. Empat kelas kuliah untuk program S-1

5. 1 ruang kuliah S-2 dan satu ruang kuliah untuk program S-3.

6. Satu unit asrama putra & satu unit asrama putri yang terletak dilingkungan kampus serta dua unit asrama keluarga di pos 7.

7. Empat unit rumah dosen, dan

8. Satu unit kantor senat

Perpustakaan STT-WP menyediakan berbagai macam buku yang berhubungan dengan teologi, Pak dan Sosiologi. Ada juga buku-buku umum menyangkut; politk, hukum dan HAM, lingkungan, dll.

Untuk semester ini STT-WP telah memulai kuliah sejak tanggal 5 Agustus 2009.Pembukaan kuliah di tandai dengan kuliah umum yang dibawakan oleh DR. Benny Giay. Beliau dalam pemaparannya menekankan supaya semua mahasiswa maupun dosen agar selalu berusaha untuk mengenal diri dan lingkungan sekitar di mana kita hidup dan berkarya. Untuk memahami diri & lingkungan kita harus bertanya & bertanya. Siapa saya? Mengapa saya ada disini? Mengapa ada masalah-masalah seperti ini? Apa yang bisa saya lakukan? Dll.

Sementara itu Ev.Markus Kilungga, S.Th hadir dengan materinya tentang pendidikan nonformal yang sedang dikembangkan pemerintah dewasa ini, untuk membantu kaum kecil yang belum bisa membaca dan menulis. Ia mengharapkan supaya STT, Gereja, Jemaat-jemaat atau pun mahasiswa-mahasiswa yang akan tamat dari STT_WP bisa mengambil peran dalam program ini. Terakhir Pdt. Markus Iyai, MA & Ev. Dominggus Pigai, MA hadir membagi pengalaman mereka mengikuti seminar yang dilaksanakan oleh depag, dikti & kopertis. Isi penyampaian mereka menyangkut rencana akreditasi semua perguruan tinggi yang belum terakreditasi di Tanah Papua.