Jumat, 27 November 2009

DR. Nawipa: Pendidikan non formal dapat merubah kebudayaan orang amungme yang berporos hai

Oleh: Dr. Benny Giay

Gerakan keagamaan yang terjadi di Papua pada masa lampau ditulis oleh peneliti dari negara-negara barat. Pembahasannya sering dilakukan dalam berbagai forum internasional di negara-negara barat. Data yang disajihkan sering akurat lantaran para peneliti fenomena ini sendiri kebanyak orang barat yang telah tinggal satu dua tahun di kawasan itu. Tetapi toh penulisannya tidak lepas dari pandangan barat yang didalangi oleh kepentingan atau pun agenda pribadi si peneliti itu sendiri.
Belakangan ini muncul juga orang Papua yang menganalisa dan menaruh perhatian terhadap gejala keagamaan ini yang di pulau jawa dikenal sebagai “ Gerakan Ratu Adil.” Peneliti terakhir asal Papua ialah Dr.Noak Nawipa yang menghasilkan: The Concept Of Hai Among The Amungme In The South Central Highlands Of Papua And Its Implication For Non Formal Education (Konsep Hai Diantara Suku Amungme di Bagian Selatan Pengunungan Tengah Papua dan Inmplikasinya Bagi Pendidikan Nonformal). Tesis yang ditulis dalam rangkah memperoleh gelar Doktor Pendidikan ini didasarkan atas penelitian lapangan diantara orang Amungme yang dewasa ini sedang ramai dibicarakan orang melalui media massa sehubungan dengan isu HAM disana.
Karya ini amat penting bukan saja karena penelitinya seorang putra suku bangsa Mee, dari Kabupaten Paniai, tetapi juga karena tulisan ini juga merupakan disertasi pertama mengenai suku Amungme ini. Disertasi lain tentang suku bangsa ini tengah dipersiapkan di Amerika Serikat oleh John Elenberger, seorang utusan injil yang sejak pertengahan 1950an telah tinggal diantara orang Amungme atau Damal di Beoga dekat Puncak Jaya, Papua. Pokok penelitiannya: masalah religi orang Damal, jadi tidak jauh beda dengan disertasi dari Dr.Nawipa tadi.
Penelitian untuk disertasi itu sendiri yang dilakukan selama kurang lebih lima bulan diantara orang Amungme di lembah Waa, Timika. Buku ini dimulai dengan mengadakan tinjauan metode pendekatan terhadap religi “Jaman Bahagia” di Papua Barat dan Papua New Guinea, yang dipakai peneliti barat hingga sekarang. Disini kita lihat sederatan nama besar dengan karyanya tentang gerakan keagamaan di kawasan ini seperti: Kenelm Burridge dengan bukunya Mambu: A Melanesian Milenium (1960), Victorio Lantemari, Religions of the Oppresed (1965), F.C Kamma, Koreri,Mesianic Movements in the Biak Numfor Culture Area (1972). Strelan, Search for Salvation (1978), Peter Lawrence, Road Belong Cargo (1964) dan Peter Worsley, The Trumpet Shall Sound (1968), dan nama-nama baru lainnya.
Setelah menelusuri pandangan para sarjana ini, peneliti kita tidak mau dipengaruhi begitu saja oleh penjelasan para peneliti barat tadi. Karena itu ia berupaya untuk menempatkan Hai: Gerakan jaman bahagia orang Amungme ini dalam konteksnya sendiri. Ini dilakukan oleh Dosen STT Walter Post Jayapura ini sembari meletakkan gerakan keagamaan ini dalam konteks sosial- budaya, ekonomi dan politik serta latar belakang historis orang Amungme. Ia mencoba meyakinkan kita bahwa Hai tidak boleh dilihat lepas dari konteksnya. Karena itu tidaklah mengherankan apabila ia mengulas secara ringkas sejarah kontak suku ini dengan para penyiar agama dari barat dan rombongan ekpedisi Belanda yang sering mengunjungi daerah ini termasuk perjalanan tim ilmuan yang menemukan lokasi emas dan tembaga yang mendatangkan malapetaka bagi orang Amungme sendiri dewasa ini.
Berbeda dengan peneliti barat sebelumnya yang sering menekankan salah satu aspek seperti: sosial ekonomi, politik, pemerasan dan perampasan, dll. Sementara melecehkan penemuan ilmuan lain, Dr.Noakh Nawipa yang pernah menjadi pendeta jemaat Gereja Kemah Injil Papua di Timika ini memandang Hai secara holistik ( hal.51,120). Ini berarti Hai orang Amungme dipandangnya sebagai penampakan dari aspirasi teologi pribumi yang dinafasi oleh mitologi Amungme, manifestasi cita-cita pembebasan dari pemerasan perampasan hak, serta keprihatinan orang Amungme untuk mempertahankan dunia dan integritas kelompoknya ditengah-tengah dunia modern yang tidak menentu ini. Jadi semua aspek ini dilihatnya sebagai muatan konsep Hai itu. Dan kesimpulan ini sendiri ditariknya setelah berupaya menggali mitologi dan tradisi serta sejarah kontak orang Amungme dengan dunia luar. Dengan perkataan lain Dr.Nawipa mau menarik kesimpulannya berdasarkan analisa atas “teks” yang dalam hal ini ialah gerakan-gerekan keagamaan Hai diantara orang Amungme , dengan “konteks” dalam arti sejarah lokal dan tradisi orang Amungme.
Dalam upaya untuk mengajak kita untuk melihat hubungan antara “teks” dan
“ konteks” Dr.Noakh Nawipa mengambarkan sejarah kontak orang Amungme dengan orang barat dan non-barat. Hanya disayangkan bahwa uraiannya tentang “konteks” ini tidak begitu panjang. Sementara uraiannya menyangkut “teks” (mitologi orang Amungme dan gerakan-gerakan keagamaan Hai yang telah dan tengah terjadi disana) dapat dikatakan cukup panjang.
Lalu apa pesan penting dari disertasi ini? Dr. Nawipa berpandangan bahwa kebudayaan orang Amungme yang berporoskan Hai itu dapat ditransformasikan. Caranya ialah dengan pendidikan nonformal. Transformasi yang dimaksud Dr.Nawipa bukan berarti mencabut orang Amungme dari akar-akar kebudayaannya. Ia menolak pandangan bahwa transformasi berarti menyangkal masa lampau dan kebudayaan leluhur. Karena kebudayaan asli dapat menjadi sumber inspirasi bagi orang Amungme membangun hidupnya di dunia ini dan menjadi kekuatan dalam proses integrasi dengan suku-suku bangsa lainnya di Indonesia. Tentu saja tesis yang dipertahankan di Asia Graduate School of Theology (AGST) Manila, Philipina tanggal 27 Juli yang lalu ini akan menambah jumlah kepustakaan mengenai “religi kontemporer orang Papua”


Tulisan diatas disadur oleh redaksi blog ini dari Majalah Informasi Agama dan Kabudayaan Irian Jaya ‘Deiyai’ edisi perdana September-Oktober 1995. hal.3-5.
NB: Kata Irian Jaya diganti dengan Papua

Minggu, 22 November 2009

INTELEKTUAL SELAYAKNYA SEBAGAI OPOSISI

INTELEKTUAL SELAYAKNYA SEBAGAI OPOSISI

Apa peran seorang intelektual? Peran seorang intelektual adalah mengatakan sesuatu yang dianggap benar entah itu sesuai atau tidak dengan penguasa. Jadi, seorang intelektual adalah pencipta bahasa yang mengatakan yang benar kepada yang berkuasa. Karena itu intelektual selayaknya lebih condong sebagai oposisi ketimbang sebagai akomodasi. Karena, dosa paling besar seorang inteletual adalah apabila ia tahu apa yang seharusnya dikatakan tetapi ia menghindar(membisu).

Sosok Intelektual
Penjelasannya panjang lebar mengenai sosok intelektual dalam buku ini, Said mengutip pendapat Antonio Gramsci, bahwa intelektual dalam masyarakat dapat digolongkan menjadi dua bagian.
1. Intelektual tradisional. Mereka ini seperti guru, ulama, administrator dan sejenis yang terus menerus melakukan hal yang sama dari generasi ke generasi.
2. Intelektual organik. Mereka inilah yang berhubungan langsung dengan kelas-kelas, perusahaan-perusahaan atau elit politik.
Intelektual organik ini selalu aktif bergerak dan berbuat. Dan selalu berupaya mengubah pemikiran rakyat (hal.2). sedang intelektual menurut Julien Benda, kutip Said, adalah segelintir manusia yang sangat berbakat dan yang diberkahi moral filsuf raja. Sedangkan intelektual sejatih, masih menurut Benda, adalah mereka yang pada dasarnya bukan berkegiatan untuk mencapai tujuan praktis. Tetapi, atas dorongan mentafisika dan prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran. Karena itu ada ungkapan bahwa kerajaan para intelektual bukanlah di dunia ini (hal.3).
Dari situ, dalam penilaian Said, Benda menggambarkan intelektual dalam sosok yang sangat ideal. Buat Said, tampaknya ia lebih cocok dengan batasan yang disodorkan Gramsci mengenbai intelektual ini. Alasannya, seperti juga yang ditulis Franz Magnis Suseno dalam pengantarnya, definisi Gramsci lebih dekat kepada realitas dari pada konsep benda. Terutama pada akhir abad ke-20 ketika muncul berbagai profesi baru (halaman xxv,5).

Kritik
Kendati demikian, bagi sais intelektual harus melakukan (mempunyai) kebebasan mengeluarkan pendapat dan pikiran. Karena, kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan benteng utama kaum intelektual.
Menurut Said, tak ada kalangan yang bisa di kritik atau dicela, kalau memang diperlukan. Dalam bahasa Said tidak ada “dewa” yang harus senantiasa dipuja dan diminta petunjuk. Kalau salah, haruslah dibilang salah. Siapa pun dia. Sehingga, tidak perlu kaget kalau The New York Times (26/8/96) memberitakan, bahwa buku-buku karya Edward W. Said disita dan dilarang dijual diseluruh Palestina. Karena pemerintah Yaser Arafat tidak suka sikap Said yang mengkritik kebijakannya. Padahal, pada sisi lain, intelektual kelahiran Yerusalem ini juga tetap memuji kesuksesan Yaser Arafat dalam membawa Palestina kea rah kemajuan.
Sebenarnya, bukan cuma Yaser Arafat yang dikritik Said. Raja Husein dari Yordania, serta beberapa pemimpin Negara lain yang sudi didikte Israel dan Amerika serikat, idak luput dari kritikannya. Termasuk wartawati The New York Times, Judith Miller yang dalam laporannya memihak Israel.
Dalam buku yang diterbitkan Yayasan Obor ini, Said lalu menegaskan bahwa intelektual merupakan individu dengan peran public yang tidak dapat direduksi. Dia harus menjadi orang yang tidak gampang dikooptasi pemerintah atau korporasi. Kaum intelektual, lanjut doctor lulusan Harvard ini, harus memaikan peran penting dan berperinsip bahwa semua manusia berhak mengahrapkan standar perilaku yang layak sehubungan dengan kebebasan dan keadilan. Karena itu, kekerasan dan pelanggaran terhadap satandar-standar tersebut harus berani ditentang (hal.7).
Memang, mengatakan yang sebenarnya dalah berat. Tetapi itulah memang perang intelektual. Di sini menurut Said, posisi intelektual, yaitu selalu berdiri di antara kesendirian dan pengasingan. Karena itu pula, peran intelektual saat ini benar-benar membutuhkan keberanian untuk menyibak sesuatu yang terlupakan. Ia harus tetap kritis dan memiliki cita rasa untuk tidak dapat menerima formula sederhana yang bersifat akomodatif pada penguasa.
Buku yang diuraikan menjadi enam bab ini memberikan gambaran utuh tentang peran dan sosok intelektual di tengah kehidupan social dan politik. Penjabarannya, Bab I dan II membahas tentang peran intelektual serta soal mengesampingkan bangsa dan tradisi. Disini ditemukan pandangan-pandangan para intelektual, seperti benda, Gramsci dan Alvin Gouldnes mengenai peran intelektual dan penegasan keuniversalan intelektual. Menganai para intelektual dipengasingan, yang disebut sebagai kaum eskpatriat dan kaum marginal, serta pemahaman yang jelas sial kaum professional dan kaum amatir, dapat dilihat pada bab III dan IV. Antara lain disini ditegaskan, bahwa bagi seorang intelektual pengasingan berarti pembebasan dari karier biasa. Dalam keadaan begitu berbuat baik dan mengikuti jejak langkah terhormat merupakan tonggak utama.
Sementara bab V dan VI, dibahas mengenai perlunya mengatakan kebenaran kepada kekuasaan, dan dewa-dewa yang selalu gagal. Dua bab terakhir ini memaparkan bahwa sesuatu kebenaran harus dikatakan kepada pemegang kekuasaan, serta kisah beberapa intelektual (dewa-dewa) yang gagal setelah memperjuangkan kebenaran karena terhadang kekuasaan.
Tentu saja buku ini sangat menarik disimak. Isinya dapat dicerminkan dengan kehidupa intelektual, terutama dalam kaitan dengan sosok dan peran intelektual di tanah air tercinta.

Tulisan diatas adalah karya seorang Sufandi Maruih yang kemudian ditulis kembali oleh redaksi blog ini.

Sabtu, 21 November 2009

COUNTRY OF MY SKULL

“Never, never and never again shall it be that this beautiful land will again experience the oppression of one by another” (Nelson Mandela)

Politik apartheid di Afrika Selatan membawa Negara tersebut memasuki sejarah kekerasan yang panjang. Tidak ada catatan pasti tentang jumlah orang yang telah meninggal, hilang atau keluarga yang tercerai berai. Akan tetapi politik apartheid cukup hebat untuk membuat seluruh rakyat Afrika Selatan menangis dan hidup dalam ketakutan. Mimpi buruk ini akhirnya berakhir tahun 1994. Politik apartheid dihilangkan Nelson Mandela menjadi presiden kulit hitam pertama di Afrika Selatan. Seiring dengan ini, rakyat Afsel memasuki kisah baru-kisah-kisah tentang pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi.
Inilah yang melatarbelakangi dibuatnya film “ Country of My Skull”. Film ini mengambil tempat di Afrika Selatan pada tahun 1995, ketika Negara itu masih diliputi semangat rekonsiliasi. Saat itu pemerintah menawarkan amnesty kepada mereka yang melakukan pelanggaran HAM, baik pada pihak kulit putih maupun kulit hitam. Syarat yang harus dipenuhi oleh orang-orang yang mau mendapatkan amnesty adalah mereka harus menceritakan apa yang sebenarnya terjadi dan dapat membuktikan bahwa mereka terpaksa melakukan pelanggaran HAM tersebut karena mengikuti atasan mereka.
Untuk mendapatkan amnesty, para pelaku pelanggaran HAM harus menghadiri sidang terbuka yang diadakan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Siding ini boleh dihadiri oleh siapa saja: pers nasional maupun internasional, aktivis, warga sekitar, perempuan dan anak-anak. Tidak seperti persidangan kasus pidana biasa, siding terbuka KKR diselenggarakan di berbagai daerah di Afrika Selatan secara bergantian. Ruang yang digunakan pun bias bermacam-macam, mulai dari gedung pemerintah, gereja sampai sekolah. Dalam ruang-ruang inilah para korban dan keluarga korban bertemu langsung dengan orang-orang yang membuat mereka jadi ‘korban’. Para korban atau keluarga korban diminta untuk mengungkapkan cerita, pengalaman, perasaan, maupun trauma-trauma yang masih dirasakan sampai saat itu akibat tindakan pelanggaran HAM yang mereka alami. Di sisi lain, para pelaku juga dipersilahkan untuk mengungkapkan cerita mereka, mulai dari kronologis dan detil kejadian sampai perasaan-perasaan negative yang kemudian menghantui mereka.
Tentu saja pemberian amnesty ini mengundang berbagai kontroversi. Salah satu hal yang menarik dari film ini adalah kontroversi pemebrian amnesty yang dimunculkan oleh dua tokoh utama yang saling berseteru karena pemahaman yang berbeda tentang pemeberian amnesty. Anna Malan (Juliette Binochet) adalah seorang jurnalis untuk sebuah stasiun radio. Ia seorang Afrikaan (orang kulit putih yang lahir besar di Afrika) yang memandang pemberian amnesty sebagai salah satu langkah penting dalam proses rekonsiliasi. Menurutnya, dengan pemberian amnesty maka para korban dan pelaku bisa mulai saling memaafkan. Pemberian maaf, menurut Anna dan banyak orang Afrika Selatan, merupakan kebiasaan yang sesuai dengan budaya setempat. Berbeda dengan Anna, Langston Whitfield (Samuel L.Jackson) bersikap cukup skeptis terhadap pemberian amnesty. Menurutnya, pemeberian amnesty sama saja dengan membiarkan si pelaku pelanggaran HAM meloloskan diri dari hukuman atas perbuatannya. Ia ragu apakah rekonsiliasi semacam ini mampu mengobati luka mendalam yang timbul akibat politik apartheid.
Salah satu karakteristik yang menarik dari film ini adalah munculnya berbagai aspek dari proses pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi melalui cara-cara sederhana. Selain dari perseturuan antara Annna dan Langston, aspek-aspek tersebut muncul dari cerita-cerita korban dalam persidangan. Misalnya saja dari kasus seorang anak yang melihat kedua orang tuanya dibunuh oleh aparat kulit putih. Sejak kejadian itu anak itu tidak pernah bicara kapada siapapun. Saat persidangan, sang aparat mengakui perbuatannya yang menyatakan bahwa ia harus melaksanakan perintah atasannya. Ia merasa ssangat berdosa sampai-sampai ia ingin merawat anak tersebut, menyekolahkannya atau melakukan apa saja untuk menebus rasa besalahnya. Reaksi sang anak sangat menakjubkan, ia bangkit dari tempat duduknya lalu memeluk pria kulit putih yang telah membunuh kedua orang tuanya. Ketika ada sebagian orang yang merasa pemeberian amnesty sama dengan membiarkan sang pelaku lari dari tanggung jawab atas tindakannya, kasus ini membuktikan kebalikan dari pendapat tersebut.
Kasus lainnya muncul dari pelaku pelanggaran HAM nomor satu di Afrikan Selatan, Kolonel de Jager. Langston mendapatkan kesempatan untuk memwawancarai de Jager secara pribadi. Dari sinilah sebuah kasus pelecehan seksual dan perkosaan terungkap. Tawanan mereka, seorang perempuan kulit hitam, dibawa ke daerah pegunungan, ditelanjangi, diperkosa dan dibiarkan berhari-hari dalam keadaan telanjang dan tanpa makanan sampai ia mati. Lalu untuk mendapatkan amnesty de Jager dalam sidangnya berargumen bahwa siksaan dan perkosaan tersebut dilakukan untuk mendapatkan informasi penting dari tawanan sehingga sang colonel bisa menyelamatkan negaranya. Ia hamper yakin bahwa ia akan mendapatkan amnesty karena merasa telah membela negaranya. Dalam kasus ini, tindakan pelanggaran HAM bersembunyi dibalik argument membela Negara. Lalu amnesty dapat diberikan kepada orang-orang telah membela negaranya, seperti colonel de jager?
Contry of skull cukup bangus unuk memberikan gambaran sederhana kepada para pemirsanya tetang berbagai aspek yang cukup kompleks serta berbagai kontroversi dalam pengungkapan kebenaran an rekonsiliasi. Melalui berbagai adegan dalam cerita ini, para pemirsa diajak untuk melihat sisi para korban dan juga para pelaku-kenapa mereka melakukan tindakan pelanggaran HAM dan rasa bersalah yang kemudian dirasakan ( atau tdak dirasakan) mereka. Dari sejarah kekerasan inilah masyarakat Afrika Selatan belajar tentang kebenaran dan pemaafan.

Jumat, 20 November 2009

Kegiatan Dosen Minggu Ini

1. Ketua sekolah berangkat ke Timika sosialisai program sahabat STT_WP dan telah kembali ke tempat tugas
2. Ibu Sariaty Adii melakukan perjalanan ke kota buah-buahan Manokwari melihat teman-teman pelayanannya yang berkunjung dari jakarta. Hari rabu rombongan ini ibadah chapel bersama civitas akademik STT_WP di gedung aula.
3. Naftali edoway mengikuti seminar yang diselenggarakan oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Propinsi Papua di Hotel Relat Indah selama 2 hari.
4. hari sabtu ini ada kerja bakti massal di kompleks STT-WP

Jumat, 06 November 2009

STT-WP MELAUNCHING PROGRAM SAHABAT STT-WP

“ Menjadi sahabat Walter Post berarti menjadi teman dalam berbagi hidup dan pelayanan. Berbagi hidup dan pelayanan berarti berbagi pengalaman, entah pengalaman penderitaan ataupun pengalaman kesukaan “

Dalam rangka memperingati hidup dan karya Pdt. Walter Post sejak 1939 sekaligus memperingati 70 tahun usia pendidikan teologi di tanah Papua, STT-WP meneguhkan kembali tuan Post sebagai bapak pendidikan sekolah-sekolah teologi KINGMI di tanah Papua. Selain itu STT-WP juga meluncurkan sebuah program yang disebut “ SAHABAT WALTER POST”. Melalui program ini STT-WP mengajak semua warga gereja KINGMI atau pun bukan yang peduli untuk menjadi sahabat STT-WP dengan menyumbangkan sedikit dana yang sifatnya sukarela. Tujuan dari program ini adalah guna meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan untuk menyiapkan pendeta, penginjil, guru agama dan pelayan social masyarakat di Tanah Papua. Kegiatan yang berlangsung tanggal 6 November 2009 ini di hadiri oleh Ketua Klasis Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura serta para gembala-gembala sidang dan kaum awam. Dalam kegiatan ini dilakukan penarikan undian dengan hadiah sebuah Hand Phone baru merek nokia. Meny Yogi Gembala sidang Jemaat Bethesda juga staf pengajar di STT-WP berhasil mendapatkan hadiah tersebut. Semua peserta yang hadir menyambut gembira program ini. Ketua STT-WP Pdt.Dr.Noak Nawipa yang memimpin kegiatan mengatakan bahwa kegiatan yang sama akan diadakan pada awal bulan Desember mendatang dengan tempat yang berbeda. Ia juga kembali mengundang para hamba Tuhan yang ada dan melayani di Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura dan Kerom. Kegiatan ini diakhiri dengan makan siang bersama.

Sekertariat Program S2& S3

KKR Senat STT Walter Post

Beberapa minggu yang lalu senat STT-WP melakukan kegiatan ibadah dalam bentuk KKR. Walaupun kegiatan ini tidak dihadiri oleh semua dosen, staf dan mahasiswa, namun acaranya berjalan dengan baik. Tema yang diangkat “ datanglah kerajaanmu dibumi seperti disurga”. Ada tiga pesan yang disampaikan oleh sekertaris senat STT-WP Ham Tenouye dalam renungannya: 1) kerajaan Allah itu pertama harus di hadirkan di dalam diri setiap orang Papua, 2) kerajaan Allah juga harus dihadirkan di dalam keluarga, dan 3) di dalam komunitas dimana kita hidup dan berkarya. Dengan demikian kerajaan Allah yang dilandasi oleh buah-buah Roh itu akan nyata di tanah Papua lalu memancar ke seluruh dunia. Yang bertindak sebagai protocol adalah Franus Hagawal sementara Petrus Badokapa sebagai pembawa acara yang didampingi oleh Yan Youw, Melki Nawipa dan Delmina Pigai sebagai singers. Sementara tim musik terdiri dari, Ibnu Makay (bass), Shito Lokobal ( keyboard) dan Naftali Edoway (keyboard). Berikut adalah foto-fotonya: