Selasa, 27 Oktober 2009

MUSUH-MUSUH DI JALAN ALLAH

Pdt. Dr.Benny Giay, Ph.D

Tugas untuk membebaskan, mengubah dan melakukan penetrasi terhadap struktur dan atau lembaga masyarakat adat agama atau ideology dengan Nilai-Nilai Baru dari Kerajaan Allah bukanlah semuda membalik telapak tangan. Bagian berikut membahas beberapa musuh yang terus berupaya menghalangi perluasan dan penetrasi dunia ini dan masyarakatnya dengan nilai-nilai kerajaan Allah.

1. Pimpinan Lembaga Agama, Social, Adat Dan Politik
Unsur pimpinan lembaga-lembaga yang ingin mempertahankan kepentingan, posisi dan pengaruhnya sering menentang tokoh dan agen pembaruan. Dengan kata lain, penolakan ini terjadi karena kecurigaan terhadap nilai-nilai kerajaan Allah yang dapat menggeser posisinya. Salah satu contoh yang kita dapat sebutkan ialah Pimpinan Agama Yahudi yang menyalibkan Yesus Kristus.

2. Agama, Ideology Dan Kepentingan Ekonomi
Penghadang lain dari semangat menyebarkan nilai-nilai kerajaan Allah ialah oknum dan tokoh-tokoh atau orang-orang kuat tertentu yang ada di masyarakat yang terus menerus mengeksploitasi adat atau agama sebagai kebun sumber pendapatannya. Salah satu contoh yang dapat disebutkan disini ialah Demetrius dari Efesus yang mendorong hura-hara menentang Penyiaran Injil Rasul Paulus, karena usahanya yang telah mendatangkan keuntungan ekonomi terancam bubar.

3. Fanatisme Dan Pemahaman Alkitab Yang Sempit
Fanatisme dan pemahaman teologi dari masyarakat yang sempit tentang Allah, Kristus atau Keselamatan selalu menjadi batu sandungan bagi ide-ide baru seperti upaya-upaya pembaruan dalam tradisi dan kehidupan masyarakat. Pemahaman yang sempit yang didirong oleh ajaran tokoh-tokoh agama yang otoriter selalu membuat masyarakat menolak dan mencurigai lalu menentang pemahaman baru dan nilai-nilai baru. Contoh yang jelas yang dapat sebutkan ialah golongan fundamentalis baik dalam agama Kristen maupun Islam.

4. Penguasa Dan Ideology Penindasan
Penguasa yang otoriter dengan ideology politik dan pembangunan yang mengarah kepada penindasan masyarakat yang akan melihat nilai-nilai kerajaan Allah tadi seperti ancaman terhadap kepentingannya; dalam sejarah Indonesia pemerintah Belanda mencegah Badan PI untuk menyiarkan Injil di Jawa dan Maluku karena kegiatan PI bisa membuat golongan Islam memberontak sehingga mengganggu kepentingan pemerintah Belanda. Demikian pada masa orde baru pemerintah orde baru selalu menempatkan gereja yang memainkan peranan kenabian sebagai pihak yang mengganggu keamanan dan ketertiban negara.

5. Kemampanan Dan Hegemoni
Musuh lain ialah petugas gereja/agama yang telah lama berkarya didalam lembaga keagamaan. Mereka sering memposisikan dirinya sebagai orang yang lebih berpengalaman dan lebih banyak mengetahui masalah dogma dan asas. Tujuannya ialah semata-mata untuk mempertahankan kemapanan dan hegemoni dalam gereja. Setiap langkah pembaruan dipandang sebagai ancaman dan karena itu menudingnya sebagai penyebar ajaran sesat. Kitab suci seperti Alkitab sering dipakai sebagai alat legitimasi dan pembenaran untuk mempertahankan kemapanan.

6. Mahluk Roh Territorial
Musuh lain yang sering menghalangi penyebarluasan nilai-nilai kerajaan Allah ialah Makhluk-makhluk roh territorial: Teritorial Spirit. Makhluk roh teritotial ini menurut studi yang dilakukan oleh beberapa ilmuan di Afrika ialah makhluk yang tinggal dan mendominasi/berkuasa atas suatu masyarakat dan wilayah geografis tertentu, sehingga masyarakt daerah itu tunduk dan menyembah kepadanya (lihat Van Binsbergen 1978). Konsep ini kemudian diterapkan dalam pekerjaan peyiaran injil, makhluk ro territorial ini diartikan sebagai roh yang memiliki kekuasaan atas suatu wilayah, daerah negara atau kawasan tertentu. Dalam kipranya mereka berkuasa dan menguasai bangsa-bangsa dan negara tertentu, kota dan propinsi tertentu (lihat Greenlee 1994:507 dst; dan Wagner 1991) kata para penyiar injil kegiatan pekabaran injil disuatu daerah atau negara kadang-kadang tidak membawa hasil; karena katanya dihadang oleh makhluk roh territorial ini.
Contoh dari makhluk roh seperti itu dapat kita baca di dalam Daniel (10:12-13) berdoa kepada Tuhan. Dan Tuhan menjawab doanya. Tetapi malaikat Tuhan yang membawa jawaban doa dari Tuhan buat Daniel itu dihalangi oleh penguasa kegelapan. Malaikat Tuhan tadi bisa melewatinya setelah dia berhasil ditolong oleh Mikhael, seorang malaikat Tuhan lainnya. Jadi upaya untuk mempengaruhi dan memerangi dunia dan masyarakat dewasa ini sering dihalangi oleh penguasa dunia atau makhluk-makhluk roh territorial ini.

7. Mahluk Roh Terotorial Bekerja Sama Dengan Penguasa Politik Atau Toga Dan Tomas
Misi untuk menggarami dunia dengan spirit Etika dari Kerajaan Allah ini juga sering dihadang oleh makhluk roh territorial tadi yang melekat kepada lembaga agama, gereja, badan penyiar injil, atau penguasa politik, tokoh agama dan tokoh adat. Kadang-kadang penguasa dan tokoh adat/agama yang otoriter itu bekerja sebagai agen atau dibawah pengaru para penguasa roh dunia. Sehingga kegiatan untuk membebaskan manusia dari ideology penindasan, atau dari pemahaman agama yang sempit dilawan dengan menggunakan segala cara.


Kepustakaan

Greenlee, D (1994) Teritorial Spirits Reconsidered. Missiology Vol. XXII No.4 Oktober
Van Binsbergen, W.M.J (1978) Dalam Guardians of the Land. ( JM Schoffeleers Peny.) Simbabwe: Mambo Press
Wagner, P. (1991) Territorial Spirit. Chichester: Soverreign World Ltd.

DARI IBADAH SYKURAN 33 ANGGOTA DPRP ASAL PEGUNUNGAN

DARI IBADAH SYKURAN 33 ANGGOTA DPRP ASAL PEGUNUNGAN

Setelah melewati masa kampanye dan pemilu yang panjang, akhirnya semua calon anggota legislatif Papua di lantik pada 5 Oktober 2009 lalu. Dari 53 anggota DPRP itu, 33 orang diantaranya adalah putra-putri asal pengunungan tengah. Bagi orang pegunungan, ini merupakan sejarah baru dalam perjalanan politik di Papua Barat. Orang gunung yang selama ini dianggap terbelakang, bodoh, dan tidak bisa, membuktikan dirinya bahwa mereka juga bisa. Mereka tampil di panggung politik Indonesia untuk menepis stigma-stigama negatif yang selalu dialamatkan kepada mereka. Mereka mau bilang bahwa sudah tiba saatnya orang gunung merubah sejarah. Untuk mensyukuri anugerah Tuhan itu, sebagai anak Tuhan tapi juga anak koteka, mereka melakukan acara syukuran dalam bentuk ibadah dan bakar batu (Barapen). Masyarakat pegunungan yang ada di dua kabupaten dan satu kotamadya dikerakan untuk ikut berpatisipasi dalam kegiatan ini. Sekitar 50-an ekor babi dan puluhan ekor ayam dikorbankan dalam acara ini guna satapan bersama. Acara syukuran ini berjalan dengan aman dan terkendali dibawah cuaca yang cukup cerah.

“Telah Tiba Saatnya”
Itulah judul dari renungan Firman Tuhan yang disampaikan Pdt.Socrates Sofyan Yoman, MA (Ketua Sinode Baptis Papua) dalam acara pengucapan syukur ke-33 anggota DPRP asal pengunungan tengah di Puspigra Kampung Harapan Jayapura. Renungannya diambil dari kitab Yohanes 17:1-26. Tema yang diangkat oleh panitia adalah “Satukan langkah untuk membangun Papua yang Aman, Damai, Sejahtera, dan tegakan Kebenaran Hak Asasi Manusia (HAM) menuju Papua Baru”. Mengawali khotbahnya pak Yoman menyampaikan bahwa tema yang diangkat oleh para anggota dewan ini tentunya merupakan komitmen. Komitmen untuk merubah wajah Papua yang selama ini dirasa tidak aman, tidak damai, tidak sejahtera dan jauh dari keadilan serta penegakan HAM. Secara khusus beliau menyampaikan pesan bahwa “komitmen kalian hari ini sudah didengar oleh Tuhan Allah, Alam Papua, Rakyat Papua dan tulang belulang orang Papua Barat yang telah tiada”. Oleh karena itu, kami harap komitmen yang lahir dari hati itu, kalian pegang baik-baik.
Ia juga sedikit mengklarifikasi komentar seorang anggota dewan baru di koran beberapa waktu lalu yang bilang “ saatnya anak koteka bicara”. Beliau menyampaikan bahwa kata “anak koteka” harus dirubah menjadi “anak Papua”. kita orang Papua ras Melanesia dari Sorong sampai Merauke adalah satu. Jangan kita mengkotak-kotakan diri kita. Jangan kita mendukung politik pengkotak-kotakkan yang dibuat oleh orang lain terhadap kita. Sampai kapan pun kita tetap satu dan itu tidak bisa diubah.
Barrack Obama orang Amerika yang berasal dari keturunan kulit hitam Afrika, hari ini telah menjadi presiden di negara Super Power Amerika Serikat. “We Can Change” adalah visinya, dan kiranya itu juga jadi visi kita hari ini. Kalian (para anggota dewan) dan kami semua punya tugas hari ini untuk merubah Papua agar lebih dari hari kemarin. Beberapa pesan yang disampaikan dalam renungan itu adalah:
1. Injil adalah kekuatan. Hanya kekuatan injil yang mampu merubah paradigma penguasa untuk membangun Papua. Oleh karena itu pegang injil itu sebagai kekuatan kalian. Kalian harus menjadi teladan dalam kata dan tindakan. Hari ini kalian telah berkomitmen dan rakyat ini telah mendengarnya, maka nyatakanlah itu. Dengan kekuatan injil bicaralah tetang perubahan.
2. Rakyat Papua hari ini sedang membisu. Kalian punya tugas untuk membuat mereka/rakyat bicara. Jangan biarkan mereka hilang dalam kebisuan. Mereka punya hak untuk bicara. Bicara tentang hak-hak dan nasib hidup mereka. Bicara tentang harapan hidup mereka. Jangan tutup pintu kantor, jangan matikan atau ganti nomor hp kalian. Bukalah telinga, biarkan mereka bicara dan perjuangkanlah itu. Bicaralah tentang nasib mama-mama asli Papua yang berjualan beratapkan lagi dan beralaskan tanah dan daun pisang di depan Galael itu.
3. Jaga identitas diri. Menjaga identitas diri itu penting. Identitas diri sebagai anak Tuhan, anak adat, dan anak Papua. Perjuangkan identitas itu. Jangan menjadi bagian dari perusak dan pembunuh. Karena injil dan budaya tidak megajarkan kita tentang hal itu.
4. Berbicaralah bagi mereka yang ada dipenjara-penjara. Hari ini Yusak Pakage, Philep Karma, Selpius Bobbi, Buctar Tabuni ,dkk sedang ditahan dipenjara. Perjuangkanlah kebebasan mereka. Mereka tidak berbuat makar. Mereka hanya berjuang untuk sebuah demokrasi baik dan adil, karena negara ini negara demokrasi dan hukum. Semua orang bisa menyampaikan pikirannya dengan bebas. Jangan kita dicap, OPM, Separatis dan Makar, karena itu tidak ada di Papua. Bilang sama penguasa, jangan menabur istilah-istilah itu di Papua lagi.
5. Bicaralah tentang kemanusiaan. Janganlah takut bicara tentang kemanusiaan di Tanah Papua. Karena kemanusiaan adalah isu universal. Semua orang di dunia bicara tentang itu. Kami gereja akan berjalan bersama anda. Sekali lagi jangan takut, sebab Tuhan, alam ini, dan seluruh bangsa Papua Barat semua manusia di dunia ini ada bersama anda.
6. Ingatlah selalu pesan-pesan para penginjil barat duluh. Saat Ottow dan Geisler menginjakkan kaki mereka untuk pertama kalinya di Tanah Papua mereka pernah katakan “dengan nama Tuhan kami menginjakan kaki di Tanah ini”. Tanah ini dan manusianya sudah diberkati dengan nama Tuhan, oleh karena itu jangan bertingkah diluar apa yang Tuhan mau. Ada juga pesan lain dari Ishak Samuel Kijne “siapa yang bekerja dengan jujur di atas tanah ini dia akan melihat satu tanda heran kepada tanda heran lainnya”. Oleh karena itu bekerjalah dengan jujur. Jangan menipu rakyat. Kalau mau dapat banyak berkat.

Dulu sebelum Obama naik jadi presiden Amerika, Marthen Luther King, Jr pernah bermimpi bahwa suatu saat anak-anak dari para budak dan para tuan tanah akan berjalan bergandengan tangan di sepanjang pinggiran sungai missisipi. Mimpi itu kemudian di wujudkan oleh Obama. Hari ini rakyat Papua punya mimpi tentang Papua Baru, mampukah kalian menjawabnya?

Sementara itu Baharudin Munas Kepala wilayah Departemen Hukum dan HAM Papua yang diberi kesempatan untuk menyampaikan sambutan mewakili Pemerintah menyampaikan bahwa:
1. Sepakat dengan kata pak Yoman tentang perhatian yang harus diberikan kepada mama-mama asli Papua. DPRP harus berjuang untuk mama-mama asli Papua yang berjualan di depan Galael itu.
2. Saya juga sependapat dengan kata-kata penegakan HAM di Papua. Beliau menyampaikan bahwa di depertemen hukum dan ham ada Panitia Tetap (Pantap) yang telah dibentuk untuk menampung aspirasi HAM dari masyarakat. Selama ini kami sudah bekerja sama dengan beberapa NGO yang ada di Papua. Oleh karena itu mari kita gereja dan DPRP bekerja sama untuk itu.
3. Anda yang jadi dewan adalah orang asli Papua. Otonomi khusus dihadirkan untuk orang asli Papua. Anda harus merubah semua aturan-aturan yang mematikan lajunya kehidupan orang Papua. Agar dierah Otsus ini orang Papua bisa sejahtera dan damai.
4. Kepada anggota dewan yang terpilih kami minta supaya HPnya selalu aktif untuk menerima aspirasi dari masyarakat. Saya sendiri juga selalu akatifkan HP saya dan selalu bersedia menerima aspirasi dari masyarakat.

Berikutnya sambutan mewakili para anggota dewan disampaikan oleh Yunus Wenda. Sambutannya diawali dengan salam damai ala berbagai suku asli di Papua. Hanya dua hal yang disampaikannya, yaitu:1) Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh masyarakat pegunungan tengah yang telah mendukung kami dengan memberikan suara pada saat pemilu lalu. 2) Kalau hari ini kami bisa kasih makan banyak orang kami akan buktikan di DPRP nanti.

Terakhir pak Yoman diberi kesempatan tuk menyampaikan pesan-pesan mewakili PGGP. Pesan-pesannya sebagai berikut :
1. Kalian anggota parlemen harus selalu ada di hati Tuhan Allah dan hati rakyat. Karena kalian diutus oleh Allah dan Rakyat buatlah mereka tersenyum dan bangkitkan mereka dari kebisuannya.
2. Tolong perjuangkan nasib mama-mama asli Papua yang berjualan didepan Galael Jayapura yang beralaskan daun pisang. Semua pejabat dok II lewat disitu tapi tidak peduli. Seolah-olah orang buta yang lewat disitu.
3. Tolong perjuangkan agar Yusak Pakage, Philep Karma dkk, agar dibebaskan sebab negara ini negara demokrasi.
4. Tolong pikirkan tanah-tanah rakyat yang diambil ahli oleh pemerintah atas nama pembangunan. Usahakan supaya hak pemilikan terhadap tanah itu kembali kepada masyarakat yang punya hak milik.
5. Tolong tinjau penanaman kelapa sawit di Arso dan beberapa tempat di Papua. Apakah itu menguntungkan orang asli atau merugikan?
6. Lihatlah kembali para pemegang HPH yang sudah ada, apakah selama ini rakyat diuntungkan atau tidak. Jika ada pemegang HPH yang hendak masuk tolong periksa baik-baik mereka itu.
7. Banyak ruko-ruko telah dibangun disepanjang jalan Jayapura Sentani, tolong diperiksa adakah orang Papua yang punya, adakah orang Papua bekerja didalamnya?
8. Kami gereja menyeruhkan kepada semua kepala-kepala suku di tanah Papua agar tidak menjual tanah. Tanah itu mama, tempat kita hidup, berpijak dan berkarya jangan di perjual-belikan. Pertahankan dia.
9. Kami gereja dan masyarakat Papua menyeruhkan agar anggota parlemen yang baru tidak memperjuangkan pemekaran kabupaten/kota yang baru. Kehadiran pemekaran kabupaten ini justru membelah kita orang Papua sehingga kita terpecah-pecah, ruang gerak rakyat untuk mencari nafkah di hutan terbatasi, dll. Sekali lagi kami minta jangan ada yang berjuang untuk itu.
10. Tolong kembalikan keaslian di tanah Papua. Tempat-tempat publik dan nama-nama jalan raya harus diberi nama asli Papua. Misalnya jalan Yosudarso diganti dengan jalan Theys Eluay, dll.


Setelah kegiatan selesai semua masyarakat yang hadir di pulangkan dengan 10 buah truk ditambah tiga buah bus. Banyak juga yang pulang mengunakan kendaraan umum seperti taksi.

by Naftali Edoway

Samakah Tuhanku dan Tuhanmu ?

Fatchurrachman
| 28 Oktober 2009 | 7:14
Sebarkan Tulisan:


Dalam suatu obrolan ringan dengan kawan baikku, mendadak dia melontarkan sebuah pertanyaan yang mengejutkan : “ Bung, apakah Tuhanku dan Tuhanmu sama ?”.

Terus terang, pertanyaan itu membuatku terpana. Pertama, karena kawan baikku itu adalah pemeluk agama yang berbeda dengan agama yang aku peluk. Dia Nasrani dan aku Muslim. Kami memang sering sekali ngobrol berlama-lama karena Tuhan menakdirkan kami bertetangga. Biasanya, kami sering ngobrol bertiga dengan seorang kawan dan tetangga baikku yang beragama Hindu, karena dia orang Bali. Tetapi, kami tidak pernah membicarakan hal-hal yang sensitif. Maka, ketika dia bertanya kepadaku, apakah Tuhanku dan Tuhanmu sama, aku jadi terpana. Benar-benar terpana.

Kedua, sudah terlanjur ada stigma di tengah masyarakat bahwa setiap agama memiliki dan menyembah Tuhannya masing-masing. Bahkan yang lebih ekstrim, ada yang terlanjur melontarkan klaim bahwa dalam agama yang dianutnya itu hanya mengenal satu Tuhan dan disebutnya sebagai agama tauhid. Lalu pada saat yang bersamaan, dia menuduh agama lainnya mengenal dan menyembah lebih dari satu Tuhan.

Ya. Dua alasan itulah yang menyebabkan aku terpana. Bagaimana aku harus menjawab ? Aku tentu tidak boleh mengecewakan kawan baik sekaligus tetanggaku ini, karena kulihat dia amat serius ingin mendengarnya.

Akhirnya kukatakan kepadanya : ” sebelum aku menjawab, Bung, tolong beritahu aku, ada berapa Tuhan yang menciptakan dan mengatur alam semesta dan seluruh isinya ini ?”. Dan dia tidak ragu-ragu menjawab, ”hanya ada satu Tuhan”, katanya, sehingga dengan cepat pula aku menjawab, ”kalau begitu Tuhanku dan Tuhanmu sama, Bung.”

Kendati masih menyisakan tandatanya, tetapi kawan baikku ini sudah dapat menyimpulkan, bagaimana mungkin Zat yang mengatur alam semesta ini lebih dari satu. Bisa kacau balau. Padahal kenyataannya, alam semesta dan seluruh isinya berjalan teratur, serasi dan harmonis. Matahari selalu terbit dari ufuk timur dan tenggelam di barat. Atau istilah yang lebih tepat, matahari selalu terbit di tempat yang kita persepsikan sebagai timur dan tenggelam di tempat yang kita persepsikan sebagai barat. Karena hakikatnya mana timur dan mana barat pun sulit untuk disebut. Penyebutan timur dan barat itu lebih karena kesepakatan manusia.

Coba kita perhatikan, ketika matahari terbenam di belahan bumi yang kita huni, kita menyebutnya tempat itu adalah barat. Tetapi pada saat yang bersamaan, di belahan bumi lainnya, orang menyaksikan matahari terbit dan penduduk belahan bumi itu menyebut tempat itu adalah timur. Jadi, mana barat dan mana timur kalau begitu ?

Kembali pada teman baikku. Tampaknya dia masih belum faham juga dengan jawabanku, maka kukatakan kepadanya, ”jika Anda sudah mengenal Tuhan, Bung, dan aku juga sudah mengenal Tuhan, maka Tuhanmu dan Tuhanku itu sama. Tetapi jika Bung belum kenal Tuhan dan aku pun belum kenal Tuhan, maka Tuhan kita berbeda. Orang yang sudah mengenal Tuhan tidak akan mengatakan Tuhanku dan Tuhanmu berbeda, karena Tuhan memang esa, tunggal, ahad. Sebaliknya, orang yang belum kenal Tuhan, dia akan mengatakan, Tuhanku dan Tuhanmu berbeda, karena dia selalu beranggapan bahwa Tuhan itu hanya miliknya, bukan milik manusia lain yang berbeda agama dan keyakinan.

Aku katakan kepadanya, pembicaraan ini sangat sensitif, sehingga kita tidak perlu memperdebatkannya panjang lebar. Barangkali yang lebih penting adalah, kita semua menyadari bahwa Tuhan itu Esa, bahkan Maha Esa, tidak berbilang, tidak dapat disetarakan dengan segala sesuatu. Tuhan itu Maha Tunggal, Dia tempat bergantung semua mahluk, Dia yang menciptakan langit, bumi dan segala isinya.

Tetapi, kata kawan baikku, bagaimana mungkin Tuhanku dan Tuhanmu itu sama, karena bukankah kita menyebut Tuhan dengan sebutan yang berbeda ? Ada yang menyebut Allah, ada yang menyebut Sang Hyang Widi Wasa, ada yang menyebut Allah Bapa, dan sebutan-sebutan lain. Kenapa bisa begitu ?

Aku katakan kepadanya, Tuhan itu tunggal, sehingga Dia itu universal. Zat yang tunggal dan universal bisa disebut dengan sebutan apa saja oleh manusia yang akan menyebutnya. Contohnya air. Di mana pun wujud benda cair yang kita sebut air itu sama. Tetapi orang Jawa menyebutnya banyu, orang Sunda menyebutnya cai, orang Inggris menyebutnya water, dan sebutan-sebutan lain menurut bahasa lokalnya sendiri-sendiri. Tidak ada yang dapat mengklaim bahwa sebutannyalah yang paling benar.

Contoh lainnya adalah bulan. Orang Arab menyebutnya al-qomar, orang Inggris menyebutnya moon, orang Jawa menyebutnya wulan, dalam bahasa Kawi disebutnya candra dan sebutan-sebutan lokal lain yang berbeda satu sama lain untuk zat yang satu dan universal.

Jadi Bung, mengapa kita musti menghakimi dan mengklaim bahwa sebutan kita yang paling benar ? Yang dapat kita lakukan adalah menyerahkan semuanya kepada Tuhan sendiri.

Wallohua’lam. Hanya Tuhan Yang Maha Tahu. *****

Diambil dari Kompas tanggal, 28 oktober 2009

Minggu, 18 Oktober 2009

MENGENANG PAULO FREIRE TOKOH PENDIDIK MULTICULTURAL

Oleh : Hawad Sryantho

Aktivis Sebuah Lembaga Advokasi Kemasyarakatan; Tinggal di Pontiak, Kalimatan Barat


Prof. Dr.Paulo Freire yang terkenal luas sebagai pendidik multicultural, telah tiada. Lebih dari sebulan lalu, 2 Mei 1997, beliau wafat dalam usia 75 tahun di Sao Paulo, Brasil.

Paulo Freire dikenal sebagai pendidik yang mendudukan masalah pendidikan masyarakat sebagai bagian dari proses pembaharuan kebudayaan. Menurut tokoh pemberantas buta huruf dari Brasil ini, definisi dari pendidikan klasik perlu ditinjau kembali dalam konteks social budaya dunia ketiga. Pendidikan seharusnya terutama dilihat dari perspektif pembebasan.

Dilahirkan di Recife, Brasil, pada 15 September 1921, masa kecil Paulo Reglus Neves Freire banyak ditandai oleh situasi kemiskinan. Sebagai anak kecil pernah mengalami kelaparan setelah keluarganya hancur akibat krisis ekonomi Brasil pada tahun 1929. Dalam usia 11 tahun ia kemudian bersumpah untuk mengabdikan hidupnya bagi perjuangan melawan kelaparan. Ia ikut kursus pengacara, tetapi mengundurkan diri setelah mendapatkan sertifikat. Profesi pengacara ternyata lebih banyak melayani mereka yang kuat dari pada mereka yang tertindas. Freire kemudian mengikuti kursus mengajar dan mengabdikan hidupnya bagi pendidikan baca tulis orang dewasa.

Metode pendidikan yang dikembangkan oleh Freire memang unik. Salah satu yang utama adalah teori konsientisasi (penyadaran), yang kemudian diuraikannya dalam buku klasiknya “the pedagogy of the oppressed”, yang sudah diterjemahkan dalam 17 bahasa (termasuk bahasa Indonesia). Melalui teory konsientisasi itu seorang pendidik harus menggunakan dialog dan kata-kata kunci yang memiliki makna yang terkait dengan kehidupan sehari-hari, sebagai dasar bagi pembelajaran baca tulis rakyat. Freire yajin ada korelasi antara ketidak-mampuan baca tulis dengan kurangnya kesadaran akan situasi mereka yang tertindas.

Pada eksperimen pertama pengunaan metode itu pada tahun 1963. Freire mampu mengajar 300 orang dewasa untuk membaca dan menulis dalam tempo 45 hari. Mereka itu tidak sekedar melek huruf, tapi juga ini lebih penting melek situasi dan menyadari keadaan hidup mereka sehari-hari (yang tertindas). Keberhasilan freire ini membuat propinsi pernambuco dibarat daya brasil kemudian mengunakan metode tersebut guna pendidikan masyarakat. Namun setelah kudeta militer di barsil pada tahun 1964, teori dan metode pendidikan Freire ini dilarang. Regim militer baru itu mencap metode tersebut berbau “komunis”. Dan Paulo Freire pun dipenjara selama 70 hari. Setelah itu ia pun harus hidup dalam pengasingan diluar negeri selama 16 tahun.

Saat awal pengasingannya Freire mengatakan “Aku dihukum karena memperlihatkan bahwa penderitaaan mereka yang kelaparan itu bukanlah akibat murka Allah, melainkan akibat kurangnya kesadaran rakayat yang hidup tanpa kemampuan baca tulis”. Tahun 1980 setelah Amnesty diumumkan di Brasil, Freire kembali pulang dan menjadi professor pada Universitas Katolik di Sao PAULO. Ia juga menjadi direktur institut pendidikan sekaligus sekertaris pendidikan Kotamadya di Soa Paulo.


***

Meskipun Paulo Freire telah tiada, namun pemikirannya sangat berpengaruh bagi negara-negara sedang berkembang dan negara-negara maju. Metode konsientisasi sangat bermakna bagi para guru, pendidik masyarakat, politikus, pekerja social, perencana kota dan kalangan birokrat khusunya dalam usaha memperbaharui dunia pendidikan nasional.

Dalam kipranya sebagai pendidik, Freire juga menjadi konsultan pada kementerian pendidikan di Cile. Ia juga bekerja untuk UNESCO serta guru besar tamu pada Harvard University, AS. Dari tahun 1970 sampai 1980- saat dalam pengasingan- Freire juga menjadi konsultan khusus bidang pendidikan pada Dewan Gereja Dunia (DGD) di Genewa swiss, dan professor pada fakultas pendidikan di Universitas Geneva. “keprihatinan saya adalah untuk orang-orang miskin di dunia. Saya memutuskan membantu DGD demi revolusi”. Demikian kata freire saat ia bergabung dengan DGD. Memang pada periode pengasingan itu, Freire banyak menjadi konsultan pendidikan pengembara yang bekerja di Afrika, dibekas negara-negara portugis tahun 1974, dan juga di negara-negara Amerika Latin, termasuk Nikaragua zaman regim Sandinista.

Pada awal keterlibatannya Freire di DGD, dimana tergabung gereja-gereja dari Protestan, Anglikan dan Ortodoks, mendapat kecaman keras dari Karl Gottschald, Presiden gereja Lutheran di Brasil dan juga anggota Komite Eksekutif DGD. Ia memprotes agar pengangkatan Freire dibatalkan. Namun, kendati berbagai protes keras dari kelompok yang pro Gottschald, DGD tetap saja mempertahankan keputusannya. Dan Freire memang terbukti menjadi figur paling terkenal di DGD.

Dalam penghormatan saat pemakaman Paulo Freire lalu, sekjen DGD, Konrad Raiser mengatakan: “DGD telah menerima benih-benih inspirasi Freire selama keterlibatannya dalam staf DGD pada tahun 1970-an. DGD merasa amat kehilangan seorang sahabat dan seorang yang memiliki pemikiran besar dan berpengaruh abad ini. Paulo Freire sangat mempengaruhi orientasi dan metodologi pendidikan oikomenis. Kami banyak berutang pada pemikirannya”.

***

Paulo Regius Neves Freire memang telah tiada. Namun kita masih sempat banyak belajar melalui karya-karyanya. Karya-karya Freire yang amat terkenal itu, antara lain: Pedagogy of the Oppressed (1970), Cultural Action for freedom (1970). Education for Critical Consciousness ( 1973), dan Education: the practice of freedom (1976). Berkat gagasan-gagasan dalam buku-buku itulah, berbagai usaha pendidikan dan penyadaran dikalangan masyarakat miskin mengalami kemajuan yang mencolok. Melalui Paulo Freire muncullah berbagai alternative metode pendidikan yang sangat menekankan manusia sebagai subyek perubahan. Terima kasih “Guru”.

Diambil dari Bulletin Deiyai No. 5 II/Mei-Juni 1997, hal. 11-13

Jumat, 16 Oktober 2009

10 TAHUN STT WALTER POST JAYAPURA DAN TRANSFORMASI KEBUDAYAAN MASYARAKAT PAPUA BARAT

Oleh Pdt.Dr.Benny Giay, Ph.D

STT Walter Post Jayapura melaksanakan wisuda kelima, di gedung Gereja Bethesda, Jl. Sekolah Abepura, Pada 14 Juli 1996 lalu, tepat 10 setelah lembaga pendidikan teologi ini didirikan. Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan "apa yang menjadi orientasi, cita-cita dan misi lembaga pendidikan ini "sebagai refleksi atas 10 tahun berdirinya STT ini. Muda-mudahan renungan ini akan bermanfaat bagi wadah pendidikan lain di daerah ini.

1. Sejarah

Sekolah Teologi Walter Post Jayapura, didirikan dalam bulan Juni 1986 di Abepura. Belum ada kampusnya waktu itu. Gedung Gereja Bethesda yang terletak di jalan Sekolah No.21 Abepura dipakai sebagai ruang kuliah. Mahasiswa yang kuliah penuh tidak lebih dari 30 orang pada tahap ini. Kegiatan kuliah diadakan pada sore hari. Wisuda perdana diadakan di gedung Gereja Bethesda dalam bulan Juni 1990.

Dalam bulan Agustus, 1990, kampus sekolah dipindahkan ke Kampung Harapan Sentani. Ini berarti STT ini membuka lembaran baru dalam sejarah perjalanannya. Karena ia telah mandiri, dalam arti telah memiliki kampus sendiri. Pembangunan asrama mahasiswa ( baik bujang maupun keluarga), ruang kuliah dan perpustakaan dimulai.

Sementara itu pembangunan Gedung Administrasi, Kantor, dilokasi kampus yang sekarang dihentikan. Karena dalam tahun 1997, STT ini akan mendapat hiba kampus yang baru yang terletak di Pos 7 Sentani. Kampus itu sendiri duluhnya adalah sekolah untuk anak-anak penyiar injil yang berkarya di daerah ini. Tahun depan sekolah ini akan berpindah ke lokasi baru yaitu Pos 7 Sentani.

Melihat kebelakang telah banyak kemajuan. Tenaga dosen dalam tahun 1986 hanya berjumlah 5 orang tahun ini telah bertambah menjadi 13 orang. Malahan dalam tahun ajaran 1996/1997 ini sekolah ini akan menambah satu tenaga dosen baru Ny. Chiristina Nawipa, ME.M selain Jhon Doyapo dan ibu yang akan kembali dari studinya. Demikian pula jumlah mahasiswa bertambah dari 30 orang dalam tahun 1986 menjadi 145 mahasiswa dalam tahun 1996/1997 ini. Benar-benar suatu kemajuan. Sebagai perintis sekolah ini saya merasa bangga karena minimal telah berbuat sesuatu untuk masyarakat gereja, dan ( mungkin juga telah) menciptakan lapangan kerja (?). Tetapi setelah 10 tahun SST ini berkarya mungkin ini saatnya, ia bertanya “apa yang menjadi orientasi dan cita-cita lembaga pendidikan ini? Apa misinya? Pertanyaan ini perlu dijawab sehubungan dengan kehadirannya di daerah ini satu dekade terakhir ini.

2. Orientasi Lembaga Pendidikan Dewasa Ini

Dilihat dari misi yang diembannya lembaga pendidikan apa pun yang ada dewasa ini dapat dilihat sebagai : a) lembaga “adat”, b) sarana transformasi, c) dan lembaga “adat”yang transformatif.

a. Lembaga “ädat”

Sekolah itu dapat dipandang sebagai “adat”: lembaga yang ditetapkan masyarakat pendukung untuk melestarikan anggapan-anggapan, nilai-nilai kehidupan spiritual, social dan budaya yang diwariskan turun-temurun baik secara lisan maupun tertulis dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam hal ini sekolah ini menjadi wadah penerus dan pewaris nilai-nilai, dan aspirasi social keagamaan yang dianggap penting bagi kelanjutan hidup masyarakat pendukungnya. Lembaga pendidikan model ini tidak dapat berbuat lain selain mengkemas aspirasi, visi dan pengalaman sejarah dari kelompok pendukungnya lalu memasarkannya.

Dari sudut pandang ini, lembaga pendidikan yang kita bicarakan ini telah menjalankan misinya sebagai lembaga adat. Ia telah mengambil bagian dalam mewariskan kemasan teologi “golongan injili sedunia” dan menyuarakannya dibagian dunia ini. Minimal secara lembaga masyarakat gereja mengakui hal ini secara lembaga, walaupun umat dilapangan tidak mengkopi (seluruh) kemasan teologi seperti itu. Tetapi sekali lagi sampai sejauh ini kita dapat melihat sekolah ini sebagai wadah penerus nilai, dan teologi serta keprihatinan kelompok “suku injili”. Dalam situasi ini STT perlu mawas diri agar tidak dihayutkan “pandangan teologi injili”yang berorientasi spritualitas yang individualistis dan “kebahagiaan disurga sana”; dan tidak tertarik pada perjuangan umat manusia di dunia ini menghadapi kekuatan-kekuatan sosial, politik dan keagamaan.

Dikatakan “mawas diri” karena: (a) STT/Gereja dipanggil untuk mengemban amanat Kristus untuk menjadi “garam dan terang dunia”. Gereja terbentuk karena panggilan pertobatan (panggilan untuk datang) kepada Kristus, tetapi gereja telah diutus kembali kedalam dunia sehingga dapat menjadi terang dan garam dunia. Mungkinkah gereja memerlukan pertobatan kedua? Misalnya dengan mencoba memperbaiki “definisi tradisional gereja” sebagai orang-orang yang dipanggil keluar. Menjadi komunitas orang-orang yang dipanggil keluar dari dan kemuadian dikirim ke dunia”. (b) kita perlu mawas diri karena teologi injili ini mungkin juga dapat menjadi siasat menghadapi modernisasi yang sedang terjadi dewasa ini. Mengapa? Pemikiran teologi injili sering membuat orang lari dari kenyataan dunia. Karena itu dalam menghayati amanat tadi, ia perlu menyiasati amanat tadi. (c) masyarakat gereja Papua Barat telah lama menjadi obyek kegiatan propaganda para penyiar injil. STT dan gereja perlu mendidik warga jemaat agar perlu melihat dirinya sebagai subyek yang mampu berteologi dalam konteks Papua yang sedang membangun sambil mempertahankan identitasnya sebagai gereja injili. Ini berarti lembaga pendidikan seperti STT Walter Post menghadapi kegiatan pembangunan secara serius dan menyiasatinya dengan mengadakan perombakan kurikulum yang pas. Ini dikatakan demikian karena dunia tempat ia berkarya ini dalam konteks membangun. STT ini dan warga jemaat KIngmi yang ada didalamnya tidak mungkin menghindar lagi karena ia tidak hidup di pulau terpisah dari kegiatan pembangunan dewasa ini.

Selama ia tidak jelih terhadap perubahan dan tuntutan masyarakat, lembaga pendidikan ini sama halnya dengan “lembaga adat” yang telah ada di daerah ini sebelum kedatang utusan injil. Dalam banyak lembaga pendidikan tradisional seperti yang terdapat di Papua Barat, yang misinya semata-mata sebagai penerus nilai dan adat suku daerah ini. Lembaga adat (pendidikan tradisional) seperti ini diantara orang Sentani, diselenggarahkan dalam sebuah “rumah adat” besar yang disebut Kariwari (rumah mahluk roh). Tokoh-tokoh masyarakat Sentani dalam masa itu menggunakan lembaga/gedung ini untuk mengalih-generasikan nilai-nilai sosial dan spritualitas melalui sejumlah latihan dan upacara inisiasi yang diadakan selama jangkah waktu tertentu, digedung besar tadi. Kariwari ini dihancurkan oleh masyarakat pendukungnya pada tahun 1930-an atas anjuran Pamai Jakadewa seorang pemimpin Gerakan Keselamatan dari Ormu, Jayapura. (lihat Bijkerk tentang Pamai dalam Kama, Kruis an Korwar, 1953). Pendidikan selama dalam masa inisiasi di Kariwari ini diarahkan supaya generasi muda menghafal pandangan dan tata kehidupan masyarakat. Sebagaimana lembaga adat Kariwari, wadah pendidikan telogi ini tidak akan mampu menyiapkan masyarakat untuk menyikapi dan bahkan mengambil peran dalam merancang perubahan-perubahan besar yang akan terjadi.

b. Sarana Transformasi

Wadah pendidikan dapat juga dipandang sebagai saran transformasi aspirasi dan kebudayaan suatu kelompok masyarakat. Dalam prespektif ini masyarakat menjadi lebih kritis terhadap nilai budaya, religi dan pemahaman sejarah kelompok masyarakat tertentu. Sekolah menjadi instrument untuk merombak status quo pemikiran masyarakat yang ada dan lembaga tradisional. Wadah pendidikan demikian sering menolak jatih diri dan adat masa lampau masyarakat; karena nilai spritual dan budaya lembaga demikian dipandangnya sebagai penghambat kebebasan manusia. Lembaga pendidikan diadakan untuk menggugah masyarakat agar mereka bangkit ikut membangun masyarakat dan dunia baru. Untuk mengkonkritkan apa yang sedang dibahas disini, kami akan memberi beberapa contoh.

1. Pertama kita mengambil sistem pendidikan nasional yang dijalankan dalam negara ini yang kewalahan menghadapi dunia modern dengan segala nilai-nilai hidup yang bertentangan dengan kebudayaan tradisional, merumuskan apa yang mereka sebut sebagai “kebudayaan nasional”. Kebudayaan nasional ini yang sedang dimasyarakatkan dewasa ini melalui lembaga pendidikan nasional dengan harapan akan menggantikan budaya tradisional Indonesia yang berorientasi ke budaya suku dan local. Tujuannya ialah menyiapkan masyarakat menghadapi modernisasi. Perancang kebijakan pendidikan di Indonesia memandang kebudayaan lokal sebagai penghambat masyarakat mengahadapi modernisasi ( lihat misalnya Michael Dove, The Real and Imagined Role of Culture in Development, 1988; Colleta & Umur kayam, kebudayaan dan pembangunan, 1987). Pendidikan dilihat sebagai instrument untuk mentransformasikan suku dan etnis tadi dalam menyiapkan masyarakat menghadapi era globalisasi.

2. Bonhoffer, (1906-1945) seorang teolog modern asal Jerman yang melihat sekolah sebagai strategi untuk transformasi pemikiran kelompok, mendirikan sebuah seminari teologi untuk mengkader calon-calon gembala jemaat/petugas gereja yang akan pergi mentransformasikan teologi gereja Jerman yang telah terkontaminasi ideology Nazi. ( lihat bukunya The Cost of Disciplenship, 1948; Letters and Papers From Prison, 1953). Gereja Jerman pada saat itu telah hanyut terbawa arus pemikiran ideology Nazisme sehingga tidak berdaya menolaknya dan sebaliknya gereja mengipasi dan menyokong peyebarannya. Sang teolog yang ditangkap Gestapo dan dibunuh dalam bulan April 1945 itu mendirikan lembaga pendidikan untuk menghentikan penyebaran ideology Nazi membelokkan arah pemikiran teologis bangsa Jerman.

c. Lembaga adat yang transformatif

Saya sendiri melihat misi wadah pendidikan dewasa ini sebagai lembaga adat yang mempunyai peranan menggumuli dan mewariskan dogma, visi dan pengalama masa lampau kamunitas pendukung tetapi pada saat yang sama mengemban misi transformasi kebudayaan dan pemikiran kelompok yang bersifat mengekang kebebasan dan perkembangan hidup manusia dalam arti yang luas. Pembangunan dan globalisasi seperti sekarang ini, menuntut kita untuk menggali dan mengangkat warisan spiritual, visi dan warisan sejarah kelompok kita agar kita memiliki tempat berpijak yang tepat untuk menghadapi perubahan-perubahan yang sedang terjadi.

Tetapi tidak membiarkan kesibukan mengurus dogma serta visi demikian memenjarahkan dia dari dunia dan perkembangan yang sedang terjadi di dunia ini. Gereja tidak hanya menonton tetapi terlibat dalam mempengaruhi perubahan-perubahan dalam masyarakat. Dengan perkataan lain masalah iman kepada Kristus yang diakui gereja “tidak hanya semata-mata sebagai urusan: kebenaran Allah dan rasul-rasulnya, tetapi sebagai masalah berbuat secara nyata dalam dunia. Iman, bukan hanya mempersiapkan diri untuk alam baka, tapi masalah membangun dunia yang adil. Dari konteplasi, agama menjadi aksi…meminjam kata-kata Arief Budiman. (Kata Pengantar, Arief Budiman, dalam JB. Banawiratama, Iman Pendidikan dan Perubahan Social, 1991).

Pemikiran ini dilandasi kenyataan bahwa masyarakat pendukung sekolah ini adalah masyarakat pinggiran, orang pedalaman yang sedang mengalami proses transisi dari kehidupan yang berorientasi lokal kepada kehidupan budaya dan ekonomi modern. Basis dan kekuatan sekolah ini ialah komunitas-komunitas Kristen yang tersebar di daerah pedesaan, dengan ekonomi subsistence. Masalah yang kita hadapi ialah mampukah lembaga pendidikan ini mencetak kader-kader petugas gereja yang siap untuk mendampingi warga jemaat yang tinggal di desa-desa di pinggiran kota untuk menghadapi kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik yang sedang mengeksploitasi keterbelakangan warga masyarakat agama ini.

Keprihatinan serupa telah mempengaruhi perjuangan sebuah lembaga pendidikan injili di negara paman Sam: Fuller Theological seminary sebagaimana dijelaskansecara gamblang oleh George Marsden, seorang sejarawan dan pakar Fundamentalisme. (lihat Reforming Fundamentalism, 1987; Fundamentalis and American culture, 1980) lembaga pendidikan yang menjadi almamater tokoh-tokoh gereja Indonesia seperti; Dr.Patiasina ( sekum PGI), Dr.Anggu (Ketua STT Jaffray Ujung Pandang), Dr.Yoppie Tomatala ( Retor Institute Filsafat Teologi dan Kepemimpinan, Jakarta) ini sejak didirikannya berupaya untuk mempertahankan adat dan teologi injilli. Tetapi orang-orang besar dibelakang wadah ini menyadari bahwa Fuller seminary ini bukan lagi berkarya di pulau dan terpisah dari masyarakat. Lembaga ini adalah bagian dari kebudayaan dan masyarakat Amerika/dunia yang seklaigus dipanggil untuk mengembalakan warga masyarakat itu yang diperhadapkan dengan perubahan-perubahan yang drastis dalam dunia ini akibat penemuan baru dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.

Menyikapi tuntutan dan perubahan kebudayaan ini sebagian gereja dan oknum yang mempunyai andil dalam pendirian lembaga tadi, berjuang agar sekolah itu “hanya berfungsi sebagai lembaga adat”. Artinya mereka tidak mau ambil pusing dengan perkembangan yang sedang terjadi di Amerika dan dunia khususnya dalam tahuan 1950-an hingga tahun 1970an. Mereka menutup diri dari dunia dan melihat Fuller Seminary sebagai lembaga pendidikan “yang mengurus soal-soal dogma dan tradisi injili”.

Sebagian lagi berjuang untuk lebih membuka diri kepada tuntutan dan berupaya mengembangkan kurikulum pendidikan untuk menjawab tuntutan masyarakat. Akhirnya kelompok yang disebutkan terakhir ini menang dan beberapa departemen baru dibuka sebagai bagian dari pendidikan Seminary itu. Rencana pelajaran yang tadinya dimonopoli materi biblika dan teologi dirombak dan dirombak. Sebagai akibatnya beberapa departemen baru dibuka seperti : Antropologi dan Komunikasi Lintas Budaya, Psikologi, Pengembangan Masyarakat, dst. Perombakan terhadap kurikulum “tradisional”ini dilaksanakan tetapi tanpa kehilangan jatih diri injili. Dewasa ini teolog-teolog dan pemikir yang menjadi motor perombakan kurikulum sekolah ini dikenal sebagai penganut aliran teologi: Neo-Evangelicalism (Neo-Injili). Sekolah ini dapat dilihat sebagai “lembaga adat yang transformatif”.

Terakhir kami tampilkan visi seorang pastor yang melihat pendidikan sebagai lembaga adat yang transformatif. Pastor Fransiscus Van Lith lahir di Oirschot, Belanda datang ke Jawa 1896 dan meninggal dunia di Semarang kemudian dikuburkan di Muntilan pada tahun 1926. Bagi pastor ini Iman kepada Kristus itu ialah dasar pemikiran dan kehidupan. Orang tidak mungkin hidup tanpa Iman. Tetapi baginya penghayatan Iman itu harus mendapat wujud dan karya nyata melalui lembaga pendidikan yang dibinanya dengan tujuan untuk menghasilkan pelaku-pelaku perubahan social.

Visinya tentang misi dari lembaga pendidikan itu diungkapkan melalui pengamatan berikut: pada suatu hari Van Lith melihat seorang murid bertindak sebagai komandan barisan di halaman suatu sekolah. Murid itu memberi aba-aba tegas dan teman-temannya menjalankan perintahnya secara tertib dan teratur. Hal semacam itu tidak biasa pada orang Jawa golongan tua. Pada waktu itu ia berpikir: “beginilah perubahan mentalitas orang Jawa, berkat pendidikan”. Artinya menurut Van Lith pemikiran dan budaya orang Jawa dapat diubah dengan pendidikan. Dengan pandangan seperti itu, Van Lith Membennahi kurikulum sekolah guru ( Kweekschool) yang diasuhnya. Salah satu langkah yang diambil pada waktu itu ialah memasukan pelajaran bahasa asing: bahasa Belanda yang dianggapnya sebagai faktor penting. Kemampuan berbahasa Belanda dilihatnya sebagai kunci untuk mengadakan perubahan sosial. Dengan kemampuan berbahasa itu katanya orang Jawa akan dapat semakin mengerti perkembangan barat dan semakin ikut ambil bagian dalam kakuasaan. Dengan perkataan lain orang Jawa akan turut menentukan masa depan dan pemerintahan menuju pemerintahan yang berdiri sendiri.

Kemampuan berbahasa Belanda merupakan sarana untuk memasuki kebudayaan Belanda. Kebudayaan luar disatu pihak dibenci dan dilain pihak tidak didewakan. Kebudayaan luar dipakai sebagai sarana pembanding bagi pengembangan kebudayaan sendiri. Kebudayaan sendiri ditumbuhkan dan dihidupkan dengan dirangsang dan dibuahi dari luar. Dengan membandingkan kebudayaannya sendiri dengan kebudayaan asing diharapkan, bahwa orang Jawa dibangkitkan untuk menghidupkan kembali kebudayaan timur yang khas. (lihat J.B. Banawiratma, Iman, Pendidikan dan Perubahan Sosial, 1991).

Setelah 10 tahun ini, mugkinkah STT Walter Post Jayapura menjadi lembaga adat yang transformatif? Atau dengan perkataan lain “apakah mungkin wadah pendidikan ini menjadi lembaga pendidikan teologi yang mempunyai misi dan orientasi mengadakan perubahan sosial sambil mempertahankan jath dirinya sebagai lembaga pendidikan injili ?

Kepustakaan:


Banawiratma. Iman, Pendidikan dan Perubahan Social, Yogyakarta: Kanisius, 1999

Bijkerk. Pamai, dalam F.C.Kamma, Kruis en Korwar. Den Haag: Voorhoeve, 1953

Marsden, G. Reforming Fundamentalism, Fuller Seminary and the New Evangelicalism. Grand Rapids: Eerdmans, 1987

……….., Fundamentalism and American Culture. Oxford: oxford University Press. 1982



Diambil dari Bulletin Deiyai no. 5/ thn.1/Mei-Juni 1996. Hal.13-19

Sabtu, 10 Oktober 2009

Profil Sekolah

· Bulan Juni tahun 1986 STT-WP mulai berdiri di tanah Papua dengan program kelas jauh dari STT Jafray Makasar. Kuliah di pusatkan di gedung gereja Kingmi Bethesda Abepura.

· Juni 1987 STT-WP lepas dari STT Jafray dan mulai mandiri.

· Juni 1989 STT-WP untuk pertama kalinya mengadakan upacara wisuda untuk program D III. Ketua sekolah pada saat itu adalah Pdt. DR. Benny Giay.

· Juni 1989 Kampus STT-WP yang tadinya di Jl. Sekolah Abepura dipindahkan ke Puspigra kampung harapan.

· Juni 1992 Wisuda perdana untuk program S-1 dilaksanakan. Ketua sekolah pada saat itu adalah bapak Hendrik Jacob.

· Juni tahun 1999 Kampus STT-WP pindah ke Pos 7 sentani. Bersamaan dengan itu program Pak & Teologi S-1 di akreditasi dengan status terdaftar.

· Agustus 1999 program S-2 Gereja & Masyarakat dibuka. Mulai saat itu mata kuliah gereja & masyarakat pun diajarkan di Program S-1.

· Wisuda perdana S-2 dilaksanakan dalam bulan juni 2002. Sekitar 10 orang diwisudakan dengan gelar “MA”.

· Tahun 2009 STT-WP melakukan terobosan baru dengan menambah satu program untuk S-2 Program M.Th & membuka program Doktoral pada spesialisasi Sejarah Gereja & Budaya Papua. Ada sekitar 10 orang sedang aktif mengikuti kuliah pada program doctoral ini, sementara untuk program S-2 ada 11 orang yang sedang aktif mengikuti perkuliahan.

· Mei 2000 pak Hendrik Jacob lengser dari jabatannya sebagai ketua sekolah . Kemudian jabatan ketua dilanjtkan oleh Pdt.DR. Noakh Nawipa sebagai pejabat sementara hingga tahun 2002.

· Tahun 2002 pada konferensi wilayah di Nabire Pdt. DR. Noakh Nawipa diangkat dan ditetapkan sebagai ketua sekolah devinitif hingga hari ini.

· Tahun 2007 jurusan teologi mendapat status diakui dari Depag RI.

Tahun ini jumlah mahasiswa baru yang mendaftar untuk program S-1 sebanyak 34 orang. Jumlah mahasiswa S-2 sebanyak 11 orang dan S-3 sebanyak 11 orang. Jumlah keseluruhan mahasiswa yang aktif kuliah pada tahun ajaran 2009/2010 adalah sebanyak 133 orang.

Sekolah ini memiliki fasilitas sebagai berikut :

1. Satu buah gedung administrasi

2. Satu ruang perpustakaan

3. Satu gedung aula

4. Empat kelas kuliah untuk program S-1

5. 1 ruang kuliah S-2 dan satu ruang kuliah untuk program S-3.

6. Satu unit asrama putra & satu unit asrama putri yang terletak dilingkungan kampus serta dua unit asrama keluarga di pos 7.

7. Empat unit rumah dosen, dan

8. Satu unit kantor senat

Perpustakaan STT-WP menyediakan berbagai macam buku yang berhubungan dengan teologi, Pak dan Sosiologi. Ada juga buku-buku umum menyangkut; politk, hukum dan HAM, lingkungan, dll.

Untuk semester ini STT-WP telah memulai kuliah sejak tanggal 5 Agustus 2009.Pembukaan kuliah di tandai dengan kuliah umum yang dibawakan oleh DR. Benny Giay. Beliau dalam pemaparannya menekankan supaya semua mahasiswa maupun dosen agar selalu berusaha untuk mengenal diri dan lingkungan sekitar di mana kita hidup dan berkarya. Untuk memahami diri & lingkungan kita harus bertanya & bertanya. Siapa saya? Mengapa saya ada disini? Mengapa ada masalah-masalah seperti ini? Apa yang bisa saya lakukan? Dll.

Sementara itu Ev.Markus Kilungga, S.Th hadir dengan materinya tentang pendidikan nonformal yang sedang dikembangkan pemerintah dewasa ini, untuk membantu kaum kecil yang belum bisa membaca dan menulis. Ia mengharapkan supaya STT, Gereja, Jemaat-jemaat atau pun mahasiswa-mahasiswa yang akan tamat dari STT_WP bisa mengambil peran dalam program ini. Terakhir Pdt. Markus Iyai, MA & Ev. Dominggus Pigai, MA hadir membagi pengalaman mereka mengikuti seminar yang dilaksanakan oleh depag, dikti & kopertis. Isi penyampaian mereka menyangkut rencana akreditasi semua perguruan tinggi yang belum terakreditasi di Tanah Papua.