Fatchurrachman
| 28 Oktober 2009 | 7:14
Sebarkan Tulisan:
Dalam suatu obrolan ringan dengan kawan baikku, mendadak dia melontarkan sebuah pertanyaan yang mengejutkan : “ Bung, apakah Tuhanku dan Tuhanmu sama ?”.
Terus terang, pertanyaan itu membuatku terpana. Pertama, karena kawan baikku itu adalah pemeluk agama yang berbeda dengan agama yang aku peluk. Dia Nasrani dan aku Muslim. Kami memang sering sekali ngobrol berlama-lama karena Tuhan menakdirkan kami bertetangga. Biasanya, kami sering ngobrol bertiga dengan seorang kawan dan tetangga baikku yang beragama Hindu, karena dia orang Bali. Tetapi, kami tidak pernah membicarakan hal-hal yang sensitif. Maka, ketika dia bertanya kepadaku, apakah Tuhanku dan Tuhanmu sama, aku jadi terpana. Benar-benar terpana.
Kedua, sudah terlanjur ada stigma di tengah masyarakat bahwa setiap agama memiliki dan menyembah Tuhannya masing-masing. Bahkan yang lebih ekstrim, ada yang terlanjur melontarkan klaim bahwa dalam agama yang dianutnya itu hanya mengenal satu Tuhan dan disebutnya sebagai agama tauhid. Lalu pada saat yang bersamaan, dia menuduh agama lainnya mengenal dan menyembah lebih dari satu Tuhan.
Ya. Dua alasan itulah yang menyebabkan aku terpana. Bagaimana aku harus menjawab ? Aku tentu tidak boleh mengecewakan kawan baik sekaligus tetanggaku ini, karena kulihat dia amat serius ingin mendengarnya.
Akhirnya kukatakan kepadanya : ” sebelum aku menjawab, Bung, tolong beritahu aku, ada berapa Tuhan yang menciptakan dan mengatur alam semesta dan seluruh isinya ini ?”. Dan dia tidak ragu-ragu menjawab, ”hanya ada satu Tuhan”, katanya, sehingga dengan cepat pula aku menjawab, ”kalau begitu Tuhanku dan Tuhanmu sama, Bung.”
Kendati masih menyisakan tandatanya, tetapi kawan baikku ini sudah dapat menyimpulkan, bagaimana mungkin Zat yang mengatur alam semesta ini lebih dari satu. Bisa kacau balau. Padahal kenyataannya, alam semesta dan seluruh isinya berjalan teratur, serasi dan harmonis. Matahari selalu terbit dari ufuk timur dan tenggelam di barat. Atau istilah yang lebih tepat, matahari selalu terbit di tempat yang kita persepsikan sebagai timur dan tenggelam di tempat yang kita persepsikan sebagai barat. Karena hakikatnya mana timur dan mana barat pun sulit untuk disebut. Penyebutan timur dan barat itu lebih karena kesepakatan manusia.
Coba kita perhatikan, ketika matahari terbenam di belahan bumi yang kita huni, kita menyebutnya tempat itu adalah barat. Tetapi pada saat yang bersamaan, di belahan bumi lainnya, orang menyaksikan matahari terbit dan penduduk belahan bumi itu menyebut tempat itu adalah timur. Jadi, mana barat dan mana timur kalau begitu ?
Kembali pada teman baikku. Tampaknya dia masih belum faham juga dengan jawabanku, maka kukatakan kepadanya, ”jika Anda sudah mengenal Tuhan, Bung, dan aku juga sudah mengenal Tuhan, maka Tuhanmu dan Tuhanku itu sama. Tetapi jika Bung belum kenal Tuhan dan aku pun belum kenal Tuhan, maka Tuhan kita berbeda. Orang yang sudah mengenal Tuhan tidak akan mengatakan Tuhanku dan Tuhanmu berbeda, karena Tuhan memang esa, tunggal, ahad. Sebaliknya, orang yang belum kenal Tuhan, dia akan mengatakan, Tuhanku dan Tuhanmu berbeda, karena dia selalu beranggapan bahwa Tuhan itu hanya miliknya, bukan milik manusia lain yang berbeda agama dan keyakinan.
Aku katakan kepadanya, pembicaraan ini sangat sensitif, sehingga kita tidak perlu memperdebatkannya panjang lebar. Barangkali yang lebih penting adalah, kita semua menyadari bahwa Tuhan itu Esa, bahkan Maha Esa, tidak berbilang, tidak dapat disetarakan dengan segala sesuatu. Tuhan itu Maha Tunggal, Dia tempat bergantung semua mahluk, Dia yang menciptakan langit, bumi dan segala isinya.
Tetapi, kata kawan baikku, bagaimana mungkin Tuhanku dan Tuhanmu itu sama, karena bukankah kita menyebut Tuhan dengan sebutan yang berbeda ? Ada yang menyebut Allah, ada yang menyebut Sang Hyang Widi Wasa, ada yang menyebut Allah Bapa, dan sebutan-sebutan lain. Kenapa bisa begitu ?
Aku katakan kepadanya, Tuhan itu tunggal, sehingga Dia itu universal. Zat yang tunggal dan universal bisa disebut dengan sebutan apa saja oleh manusia yang akan menyebutnya. Contohnya air. Di mana pun wujud benda cair yang kita sebut air itu sama. Tetapi orang Jawa menyebutnya banyu, orang Sunda menyebutnya cai, orang Inggris menyebutnya water, dan sebutan-sebutan lain menurut bahasa lokalnya sendiri-sendiri. Tidak ada yang dapat mengklaim bahwa sebutannyalah yang paling benar.
Contoh lainnya adalah bulan. Orang Arab menyebutnya al-qomar, orang Inggris menyebutnya moon, orang Jawa menyebutnya wulan, dalam bahasa Kawi disebutnya candra dan sebutan-sebutan lokal lain yang berbeda satu sama lain untuk zat yang satu dan universal.
Jadi Bung, mengapa kita musti menghakimi dan mengklaim bahwa sebutan kita yang paling benar ? Yang dapat kita lakukan adalah menyerahkan semuanya kepada Tuhan sendiri.
Wallohua’lam. Hanya Tuhan Yang Maha Tahu. *****
Diambil dari Kompas tanggal, 28 oktober 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar