Minggu, 22 November 2009

INTELEKTUAL SELAYAKNYA SEBAGAI OPOSISI

INTELEKTUAL SELAYAKNYA SEBAGAI OPOSISI

Apa peran seorang intelektual? Peran seorang intelektual adalah mengatakan sesuatu yang dianggap benar entah itu sesuai atau tidak dengan penguasa. Jadi, seorang intelektual adalah pencipta bahasa yang mengatakan yang benar kepada yang berkuasa. Karena itu intelektual selayaknya lebih condong sebagai oposisi ketimbang sebagai akomodasi. Karena, dosa paling besar seorang inteletual adalah apabila ia tahu apa yang seharusnya dikatakan tetapi ia menghindar(membisu).

Sosok Intelektual
Penjelasannya panjang lebar mengenai sosok intelektual dalam buku ini, Said mengutip pendapat Antonio Gramsci, bahwa intelektual dalam masyarakat dapat digolongkan menjadi dua bagian.
1. Intelektual tradisional. Mereka ini seperti guru, ulama, administrator dan sejenis yang terus menerus melakukan hal yang sama dari generasi ke generasi.
2. Intelektual organik. Mereka inilah yang berhubungan langsung dengan kelas-kelas, perusahaan-perusahaan atau elit politik.
Intelektual organik ini selalu aktif bergerak dan berbuat. Dan selalu berupaya mengubah pemikiran rakyat (hal.2). sedang intelektual menurut Julien Benda, kutip Said, adalah segelintir manusia yang sangat berbakat dan yang diberkahi moral filsuf raja. Sedangkan intelektual sejatih, masih menurut Benda, adalah mereka yang pada dasarnya bukan berkegiatan untuk mencapai tujuan praktis. Tetapi, atas dorongan mentafisika dan prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran. Karena itu ada ungkapan bahwa kerajaan para intelektual bukanlah di dunia ini (hal.3).
Dari situ, dalam penilaian Said, Benda menggambarkan intelektual dalam sosok yang sangat ideal. Buat Said, tampaknya ia lebih cocok dengan batasan yang disodorkan Gramsci mengenbai intelektual ini. Alasannya, seperti juga yang ditulis Franz Magnis Suseno dalam pengantarnya, definisi Gramsci lebih dekat kepada realitas dari pada konsep benda. Terutama pada akhir abad ke-20 ketika muncul berbagai profesi baru (halaman xxv,5).

Kritik
Kendati demikian, bagi sais intelektual harus melakukan (mempunyai) kebebasan mengeluarkan pendapat dan pikiran. Karena, kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan benteng utama kaum intelektual.
Menurut Said, tak ada kalangan yang bisa di kritik atau dicela, kalau memang diperlukan. Dalam bahasa Said tidak ada “dewa” yang harus senantiasa dipuja dan diminta petunjuk. Kalau salah, haruslah dibilang salah. Siapa pun dia. Sehingga, tidak perlu kaget kalau The New York Times (26/8/96) memberitakan, bahwa buku-buku karya Edward W. Said disita dan dilarang dijual diseluruh Palestina. Karena pemerintah Yaser Arafat tidak suka sikap Said yang mengkritik kebijakannya. Padahal, pada sisi lain, intelektual kelahiran Yerusalem ini juga tetap memuji kesuksesan Yaser Arafat dalam membawa Palestina kea rah kemajuan.
Sebenarnya, bukan cuma Yaser Arafat yang dikritik Said. Raja Husein dari Yordania, serta beberapa pemimpin Negara lain yang sudi didikte Israel dan Amerika serikat, idak luput dari kritikannya. Termasuk wartawati The New York Times, Judith Miller yang dalam laporannya memihak Israel.
Dalam buku yang diterbitkan Yayasan Obor ini, Said lalu menegaskan bahwa intelektual merupakan individu dengan peran public yang tidak dapat direduksi. Dia harus menjadi orang yang tidak gampang dikooptasi pemerintah atau korporasi. Kaum intelektual, lanjut doctor lulusan Harvard ini, harus memaikan peran penting dan berperinsip bahwa semua manusia berhak mengahrapkan standar perilaku yang layak sehubungan dengan kebebasan dan keadilan. Karena itu, kekerasan dan pelanggaran terhadap satandar-standar tersebut harus berani ditentang (hal.7).
Memang, mengatakan yang sebenarnya dalah berat. Tetapi itulah memang perang intelektual. Di sini menurut Said, posisi intelektual, yaitu selalu berdiri di antara kesendirian dan pengasingan. Karena itu pula, peran intelektual saat ini benar-benar membutuhkan keberanian untuk menyibak sesuatu yang terlupakan. Ia harus tetap kritis dan memiliki cita rasa untuk tidak dapat menerima formula sederhana yang bersifat akomodatif pada penguasa.
Buku yang diuraikan menjadi enam bab ini memberikan gambaran utuh tentang peran dan sosok intelektual di tengah kehidupan social dan politik. Penjabarannya, Bab I dan II membahas tentang peran intelektual serta soal mengesampingkan bangsa dan tradisi. Disini ditemukan pandangan-pandangan para intelektual, seperti benda, Gramsci dan Alvin Gouldnes mengenai peran intelektual dan penegasan keuniversalan intelektual. Menganai para intelektual dipengasingan, yang disebut sebagai kaum eskpatriat dan kaum marginal, serta pemahaman yang jelas sial kaum professional dan kaum amatir, dapat dilihat pada bab III dan IV. Antara lain disini ditegaskan, bahwa bagi seorang intelektual pengasingan berarti pembebasan dari karier biasa. Dalam keadaan begitu berbuat baik dan mengikuti jejak langkah terhormat merupakan tonggak utama.
Sementara bab V dan VI, dibahas mengenai perlunya mengatakan kebenaran kepada kekuasaan, dan dewa-dewa yang selalu gagal. Dua bab terakhir ini memaparkan bahwa sesuatu kebenaran harus dikatakan kepada pemegang kekuasaan, serta kisah beberapa intelektual (dewa-dewa) yang gagal setelah memperjuangkan kebenaran karena terhadang kekuasaan.
Tentu saja buku ini sangat menarik disimak. Isinya dapat dicerminkan dengan kehidupa intelektual, terutama dalam kaitan dengan sosok dan peran intelektual di tanah air tercinta.

Tulisan diatas adalah karya seorang Sufandi Maruih yang kemudian ditulis kembali oleh redaksi blog ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar