Sabtu, 21 November 2009

COUNTRY OF MY SKULL

“Never, never and never again shall it be that this beautiful land will again experience the oppression of one by another” (Nelson Mandela)

Politik apartheid di Afrika Selatan membawa Negara tersebut memasuki sejarah kekerasan yang panjang. Tidak ada catatan pasti tentang jumlah orang yang telah meninggal, hilang atau keluarga yang tercerai berai. Akan tetapi politik apartheid cukup hebat untuk membuat seluruh rakyat Afrika Selatan menangis dan hidup dalam ketakutan. Mimpi buruk ini akhirnya berakhir tahun 1994. Politik apartheid dihilangkan Nelson Mandela menjadi presiden kulit hitam pertama di Afrika Selatan. Seiring dengan ini, rakyat Afsel memasuki kisah baru-kisah-kisah tentang pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi.
Inilah yang melatarbelakangi dibuatnya film “ Country of My Skull”. Film ini mengambil tempat di Afrika Selatan pada tahun 1995, ketika Negara itu masih diliputi semangat rekonsiliasi. Saat itu pemerintah menawarkan amnesty kepada mereka yang melakukan pelanggaran HAM, baik pada pihak kulit putih maupun kulit hitam. Syarat yang harus dipenuhi oleh orang-orang yang mau mendapatkan amnesty adalah mereka harus menceritakan apa yang sebenarnya terjadi dan dapat membuktikan bahwa mereka terpaksa melakukan pelanggaran HAM tersebut karena mengikuti atasan mereka.
Untuk mendapatkan amnesty, para pelaku pelanggaran HAM harus menghadiri sidang terbuka yang diadakan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Siding ini boleh dihadiri oleh siapa saja: pers nasional maupun internasional, aktivis, warga sekitar, perempuan dan anak-anak. Tidak seperti persidangan kasus pidana biasa, siding terbuka KKR diselenggarakan di berbagai daerah di Afrika Selatan secara bergantian. Ruang yang digunakan pun bias bermacam-macam, mulai dari gedung pemerintah, gereja sampai sekolah. Dalam ruang-ruang inilah para korban dan keluarga korban bertemu langsung dengan orang-orang yang membuat mereka jadi ‘korban’. Para korban atau keluarga korban diminta untuk mengungkapkan cerita, pengalaman, perasaan, maupun trauma-trauma yang masih dirasakan sampai saat itu akibat tindakan pelanggaran HAM yang mereka alami. Di sisi lain, para pelaku juga dipersilahkan untuk mengungkapkan cerita mereka, mulai dari kronologis dan detil kejadian sampai perasaan-perasaan negative yang kemudian menghantui mereka.
Tentu saja pemberian amnesty ini mengundang berbagai kontroversi. Salah satu hal yang menarik dari film ini adalah kontroversi pemebrian amnesty yang dimunculkan oleh dua tokoh utama yang saling berseteru karena pemahaman yang berbeda tentang pemeberian amnesty. Anna Malan (Juliette Binochet) adalah seorang jurnalis untuk sebuah stasiun radio. Ia seorang Afrikaan (orang kulit putih yang lahir besar di Afrika) yang memandang pemberian amnesty sebagai salah satu langkah penting dalam proses rekonsiliasi. Menurutnya, dengan pemberian amnesty maka para korban dan pelaku bisa mulai saling memaafkan. Pemberian maaf, menurut Anna dan banyak orang Afrika Selatan, merupakan kebiasaan yang sesuai dengan budaya setempat. Berbeda dengan Anna, Langston Whitfield (Samuel L.Jackson) bersikap cukup skeptis terhadap pemberian amnesty. Menurutnya, pemeberian amnesty sama saja dengan membiarkan si pelaku pelanggaran HAM meloloskan diri dari hukuman atas perbuatannya. Ia ragu apakah rekonsiliasi semacam ini mampu mengobati luka mendalam yang timbul akibat politik apartheid.
Salah satu karakteristik yang menarik dari film ini adalah munculnya berbagai aspek dari proses pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi melalui cara-cara sederhana. Selain dari perseturuan antara Annna dan Langston, aspek-aspek tersebut muncul dari cerita-cerita korban dalam persidangan. Misalnya saja dari kasus seorang anak yang melihat kedua orang tuanya dibunuh oleh aparat kulit putih. Sejak kejadian itu anak itu tidak pernah bicara kapada siapapun. Saat persidangan, sang aparat mengakui perbuatannya yang menyatakan bahwa ia harus melaksanakan perintah atasannya. Ia merasa ssangat berdosa sampai-sampai ia ingin merawat anak tersebut, menyekolahkannya atau melakukan apa saja untuk menebus rasa besalahnya. Reaksi sang anak sangat menakjubkan, ia bangkit dari tempat duduknya lalu memeluk pria kulit putih yang telah membunuh kedua orang tuanya. Ketika ada sebagian orang yang merasa pemeberian amnesty sama dengan membiarkan sang pelaku lari dari tanggung jawab atas tindakannya, kasus ini membuktikan kebalikan dari pendapat tersebut.
Kasus lainnya muncul dari pelaku pelanggaran HAM nomor satu di Afrikan Selatan, Kolonel de Jager. Langston mendapatkan kesempatan untuk memwawancarai de Jager secara pribadi. Dari sinilah sebuah kasus pelecehan seksual dan perkosaan terungkap. Tawanan mereka, seorang perempuan kulit hitam, dibawa ke daerah pegunungan, ditelanjangi, diperkosa dan dibiarkan berhari-hari dalam keadaan telanjang dan tanpa makanan sampai ia mati. Lalu untuk mendapatkan amnesty de Jager dalam sidangnya berargumen bahwa siksaan dan perkosaan tersebut dilakukan untuk mendapatkan informasi penting dari tawanan sehingga sang colonel bisa menyelamatkan negaranya. Ia hamper yakin bahwa ia akan mendapatkan amnesty karena merasa telah membela negaranya. Dalam kasus ini, tindakan pelanggaran HAM bersembunyi dibalik argument membela Negara. Lalu amnesty dapat diberikan kepada orang-orang telah membela negaranya, seperti colonel de jager?
Contry of skull cukup bangus unuk memberikan gambaran sederhana kepada para pemirsanya tetang berbagai aspek yang cukup kompleks serta berbagai kontroversi dalam pengungkapan kebenaran an rekonsiliasi. Melalui berbagai adegan dalam cerita ini, para pemirsa diajak untuk melihat sisi para korban dan juga para pelaku-kenapa mereka melakukan tindakan pelanggaran HAM dan rasa bersalah yang kemudian dirasakan ( atau tdak dirasakan) mereka. Dari sejarah kekerasan inilah masyarakat Afrika Selatan belajar tentang kebenaran dan pemaafan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar