Jumat, 16 Oktober 2009

10 TAHUN STT WALTER POST JAYAPURA DAN TRANSFORMASI KEBUDAYAAN MASYARAKAT PAPUA BARAT

Oleh Pdt.Dr.Benny Giay, Ph.D

STT Walter Post Jayapura melaksanakan wisuda kelima, di gedung Gereja Bethesda, Jl. Sekolah Abepura, Pada 14 Juli 1996 lalu, tepat 10 setelah lembaga pendidikan teologi ini didirikan. Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan "apa yang menjadi orientasi, cita-cita dan misi lembaga pendidikan ini "sebagai refleksi atas 10 tahun berdirinya STT ini. Muda-mudahan renungan ini akan bermanfaat bagi wadah pendidikan lain di daerah ini.

1. Sejarah

Sekolah Teologi Walter Post Jayapura, didirikan dalam bulan Juni 1986 di Abepura. Belum ada kampusnya waktu itu. Gedung Gereja Bethesda yang terletak di jalan Sekolah No.21 Abepura dipakai sebagai ruang kuliah. Mahasiswa yang kuliah penuh tidak lebih dari 30 orang pada tahap ini. Kegiatan kuliah diadakan pada sore hari. Wisuda perdana diadakan di gedung Gereja Bethesda dalam bulan Juni 1990.

Dalam bulan Agustus, 1990, kampus sekolah dipindahkan ke Kampung Harapan Sentani. Ini berarti STT ini membuka lembaran baru dalam sejarah perjalanannya. Karena ia telah mandiri, dalam arti telah memiliki kampus sendiri. Pembangunan asrama mahasiswa ( baik bujang maupun keluarga), ruang kuliah dan perpustakaan dimulai.

Sementara itu pembangunan Gedung Administrasi, Kantor, dilokasi kampus yang sekarang dihentikan. Karena dalam tahun 1997, STT ini akan mendapat hiba kampus yang baru yang terletak di Pos 7 Sentani. Kampus itu sendiri duluhnya adalah sekolah untuk anak-anak penyiar injil yang berkarya di daerah ini. Tahun depan sekolah ini akan berpindah ke lokasi baru yaitu Pos 7 Sentani.

Melihat kebelakang telah banyak kemajuan. Tenaga dosen dalam tahun 1986 hanya berjumlah 5 orang tahun ini telah bertambah menjadi 13 orang. Malahan dalam tahun ajaran 1996/1997 ini sekolah ini akan menambah satu tenaga dosen baru Ny. Chiristina Nawipa, ME.M selain Jhon Doyapo dan ibu yang akan kembali dari studinya. Demikian pula jumlah mahasiswa bertambah dari 30 orang dalam tahun 1986 menjadi 145 mahasiswa dalam tahun 1996/1997 ini. Benar-benar suatu kemajuan. Sebagai perintis sekolah ini saya merasa bangga karena minimal telah berbuat sesuatu untuk masyarakat gereja, dan ( mungkin juga telah) menciptakan lapangan kerja (?). Tetapi setelah 10 tahun SST ini berkarya mungkin ini saatnya, ia bertanya “apa yang menjadi orientasi dan cita-cita lembaga pendidikan ini? Apa misinya? Pertanyaan ini perlu dijawab sehubungan dengan kehadirannya di daerah ini satu dekade terakhir ini.

2. Orientasi Lembaga Pendidikan Dewasa Ini

Dilihat dari misi yang diembannya lembaga pendidikan apa pun yang ada dewasa ini dapat dilihat sebagai : a) lembaga “adat”, b) sarana transformasi, c) dan lembaga “adat”yang transformatif.

a. Lembaga “ädat”

Sekolah itu dapat dipandang sebagai “adat”: lembaga yang ditetapkan masyarakat pendukung untuk melestarikan anggapan-anggapan, nilai-nilai kehidupan spiritual, social dan budaya yang diwariskan turun-temurun baik secara lisan maupun tertulis dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam hal ini sekolah ini menjadi wadah penerus dan pewaris nilai-nilai, dan aspirasi social keagamaan yang dianggap penting bagi kelanjutan hidup masyarakat pendukungnya. Lembaga pendidikan model ini tidak dapat berbuat lain selain mengkemas aspirasi, visi dan pengalaman sejarah dari kelompok pendukungnya lalu memasarkannya.

Dari sudut pandang ini, lembaga pendidikan yang kita bicarakan ini telah menjalankan misinya sebagai lembaga adat. Ia telah mengambil bagian dalam mewariskan kemasan teologi “golongan injili sedunia” dan menyuarakannya dibagian dunia ini. Minimal secara lembaga masyarakat gereja mengakui hal ini secara lembaga, walaupun umat dilapangan tidak mengkopi (seluruh) kemasan teologi seperti itu. Tetapi sekali lagi sampai sejauh ini kita dapat melihat sekolah ini sebagai wadah penerus nilai, dan teologi serta keprihatinan kelompok “suku injili”. Dalam situasi ini STT perlu mawas diri agar tidak dihayutkan “pandangan teologi injili”yang berorientasi spritualitas yang individualistis dan “kebahagiaan disurga sana”; dan tidak tertarik pada perjuangan umat manusia di dunia ini menghadapi kekuatan-kekuatan sosial, politik dan keagamaan.

Dikatakan “mawas diri” karena: (a) STT/Gereja dipanggil untuk mengemban amanat Kristus untuk menjadi “garam dan terang dunia”. Gereja terbentuk karena panggilan pertobatan (panggilan untuk datang) kepada Kristus, tetapi gereja telah diutus kembali kedalam dunia sehingga dapat menjadi terang dan garam dunia. Mungkinkah gereja memerlukan pertobatan kedua? Misalnya dengan mencoba memperbaiki “definisi tradisional gereja” sebagai orang-orang yang dipanggil keluar. Menjadi komunitas orang-orang yang dipanggil keluar dari dan kemuadian dikirim ke dunia”. (b) kita perlu mawas diri karena teologi injili ini mungkin juga dapat menjadi siasat menghadapi modernisasi yang sedang terjadi dewasa ini. Mengapa? Pemikiran teologi injili sering membuat orang lari dari kenyataan dunia. Karena itu dalam menghayati amanat tadi, ia perlu menyiasati amanat tadi. (c) masyarakat gereja Papua Barat telah lama menjadi obyek kegiatan propaganda para penyiar injil. STT dan gereja perlu mendidik warga jemaat agar perlu melihat dirinya sebagai subyek yang mampu berteologi dalam konteks Papua yang sedang membangun sambil mempertahankan identitasnya sebagai gereja injili. Ini berarti lembaga pendidikan seperti STT Walter Post menghadapi kegiatan pembangunan secara serius dan menyiasatinya dengan mengadakan perombakan kurikulum yang pas. Ini dikatakan demikian karena dunia tempat ia berkarya ini dalam konteks membangun. STT ini dan warga jemaat KIngmi yang ada didalamnya tidak mungkin menghindar lagi karena ia tidak hidup di pulau terpisah dari kegiatan pembangunan dewasa ini.

Selama ia tidak jelih terhadap perubahan dan tuntutan masyarakat, lembaga pendidikan ini sama halnya dengan “lembaga adat” yang telah ada di daerah ini sebelum kedatang utusan injil. Dalam banyak lembaga pendidikan tradisional seperti yang terdapat di Papua Barat, yang misinya semata-mata sebagai penerus nilai dan adat suku daerah ini. Lembaga adat (pendidikan tradisional) seperti ini diantara orang Sentani, diselenggarahkan dalam sebuah “rumah adat” besar yang disebut Kariwari (rumah mahluk roh). Tokoh-tokoh masyarakat Sentani dalam masa itu menggunakan lembaga/gedung ini untuk mengalih-generasikan nilai-nilai sosial dan spritualitas melalui sejumlah latihan dan upacara inisiasi yang diadakan selama jangkah waktu tertentu, digedung besar tadi. Kariwari ini dihancurkan oleh masyarakat pendukungnya pada tahun 1930-an atas anjuran Pamai Jakadewa seorang pemimpin Gerakan Keselamatan dari Ormu, Jayapura. (lihat Bijkerk tentang Pamai dalam Kama, Kruis an Korwar, 1953). Pendidikan selama dalam masa inisiasi di Kariwari ini diarahkan supaya generasi muda menghafal pandangan dan tata kehidupan masyarakat. Sebagaimana lembaga adat Kariwari, wadah pendidikan telogi ini tidak akan mampu menyiapkan masyarakat untuk menyikapi dan bahkan mengambil peran dalam merancang perubahan-perubahan besar yang akan terjadi.

b. Sarana Transformasi

Wadah pendidikan dapat juga dipandang sebagai saran transformasi aspirasi dan kebudayaan suatu kelompok masyarakat. Dalam prespektif ini masyarakat menjadi lebih kritis terhadap nilai budaya, religi dan pemahaman sejarah kelompok masyarakat tertentu. Sekolah menjadi instrument untuk merombak status quo pemikiran masyarakat yang ada dan lembaga tradisional. Wadah pendidikan demikian sering menolak jatih diri dan adat masa lampau masyarakat; karena nilai spritual dan budaya lembaga demikian dipandangnya sebagai penghambat kebebasan manusia. Lembaga pendidikan diadakan untuk menggugah masyarakat agar mereka bangkit ikut membangun masyarakat dan dunia baru. Untuk mengkonkritkan apa yang sedang dibahas disini, kami akan memberi beberapa contoh.

1. Pertama kita mengambil sistem pendidikan nasional yang dijalankan dalam negara ini yang kewalahan menghadapi dunia modern dengan segala nilai-nilai hidup yang bertentangan dengan kebudayaan tradisional, merumuskan apa yang mereka sebut sebagai “kebudayaan nasional”. Kebudayaan nasional ini yang sedang dimasyarakatkan dewasa ini melalui lembaga pendidikan nasional dengan harapan akan menggantikan budaya tradisional Indonesia yang berorientasi ke budaya suku dan local. Tujuannya ialah menyiapkan masyarakat menghadapi modernisasi. Perancang kebijakan pendidikan di Indonesia memandang kebudayaan lokal sebagai penghambat masyarakat mengahadapi modernisasi ( lihat misalnya Michael Dove, The Real and Imagined Role of Culture in Development, 1988; Colleta & Umur kayam, kebudayaan dan pembangunan, 1987). Pendidikan dilihat sebagai instrument untuk mentransformasikan suku dan etnis tadi dalam menyiapkan masyarakat menghadapi era globalisasi.

2. Bonhoffer, (1906-1945) seorang teolog modern asal Jerman yang melihat sekolah sebagai strategi untuk transformasi pemikiran kelompok, mendirikan sebuah seminari teologi untuk mengkader calon-calon gembala jemaat/petugas gereja yang akan pergi mentransformasikan teologi gereja Jerman yang telah terkontaminasi ideology Nazi. ( lihat bukunya The Cost of Disciplenship, 1948; Letters and Papers From Prison, 1953). Gereja Jerman pada saat itu telah hanyut terbawa arus pemikiran ideology Nazisme sehingga tidak berdaya menolaknya dan sebaliknya gereja mengipasi dan menyokong peyebarannya. Sang teolog yang ditangkap Gestapo dan dibunuh dalam bulan April 1945 itu mendirikan lembaga pendidikan untuk menghentikan penyebaran ideology Nazi membelokkan arah pemikiran teologis bangsa Jerman.

c. Lembaga adat yang transformatif

Saya sendiri melihat misi wadah pendidikan dewasa ini sebagai lembaga adat yang mempunyai peranan menggumuli dan mewariskan dogma, visi dan pengalama masa lampau kamunitas pendukung tetapi pada saat yang sama mengemban misi transformasi kebudayaan dan pemikiran kelompok yang bersifat mengekang kebebasan dan perkembangan hidup manusia dalam arti yang luas. Pembangunan dan globalisasi seperti sekarang ini, menuntut kita untuk menggali dan mengangkat warisan spiritual, visi dan warisan sejarah kelompok kita agar kita memiliki tempat berpijak yang tepat untuk menghadapi perubahan-perubahan yang sedang terjadi.

Tetapi tidak membiarkan kesibukan mengurus dogma serta visi demikian memenjarahkan dia dari dunia dan perkembangan yang sedang terjadi di dunia ini. Gereja tidak hanya menonton tetapi terlibat dalam mempengaruhi perubahan-perubahan dalam masyarakat. Dengan perkataan lain masalah iman kepada Kristus yang diakui gereja “tidak hanya semata-mata sebagai urusan: kebenaran Allah dan rasul-rasulnya, tetapi sebagai masalah berbuat secara nyata dalam dunia. Iman, bukan hanya mempersiapkan diri untuk alam baka, tapi masalah membangun dunia yang adil. Dari konteplasi, agama menjadi aksi…meminjam kata-kata Arief Budiman. (Kata Pengantar, Arief Budiman, dalam JB. Banawiratama, Iman Pendidikan dan Perubahan Social, 1991).

Pemikiran ini dilandasi kenyataan bahwa masyarakat pendukung sekolah ini adalah masyarakat pinggiran, orang pedalaman yang sedang mengalami proses transisi dari kehidupan yang berorientasi lokal kepada kehidupan budaya dan ekonomi modern. Basis dan kekuatan sekolah ini ialah komunitas-komunitas Kristen yang tersebar di daerah pedesaan, dengan ekonomi subsistence. Masalah yang kita hadapi ialah mampukah lembaga pendidikan ini mencetak kader-kader petugas gereja yang siap untuk mendampingi warga jemaat yang tinggal di desa-desa di pinggiran kota untuk menghadapi kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik yang sedang mengeksploitasi keterbelakangan warga masyarakat agama ini.

Keprihatinan serupa telah mempengaruhi perjuangan sebuah lembaga pendidikan injili di negara paman Sam: Fuller Theological seminary sebagaimana dijelaskansecara gamblang oleh George Marsden, seorang sejarawan dan pakar Fundamentalisme. (lihat Reforming Fundamentalism, 1987; Fundamentalis and American culture, 1980) lembaga pendidikan yang menjadi almamater tokoh-tokoh gereja Indonesia seperti; Dr.Patiasina ( sekum PGI), Dr.Anggu (Ketua STT Jaffray Ujung Pandang), Dr.Yoppie Tomatala ( Retor Institute Filsafat Teologi dan Kepemimpinan, Jakarta) ini sejak didirikannya berupaya untuk mempertahankan adat dan teologi injilli. Tetapi orang-orang besar dibelakang wadah ini menyadari bahwa Fuller seminary ini bukan lagi berkarya di pulau dan terpisah dari masyarakat. Lembaga ini adalah bagian dari kebudayaan dan masyarakat Amerika/dunia yang seklaigus dipanggil untuk mengembalakan warga masyarakat itu yang diperhadapkan dengan perubahan-perubahan yang drastis dalam dunia ini akibat penemuan baru dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.

Menyikapi tuntutan dan perubahan kebudayaan ini sebagian gereja dan oknum yang mempunyai andil dalam pendirian lembaga tadi, berjuang agar sekolah itu “hanya berfungsi sebagai lembaga adat”. Artinya mereka tidak mau ambil pusing dengan perkembangan yang sedang terjadi di Amerika dan dunia khususnya dalam tahuan 1950-an hingga tahun 1970an. Mereka menutup diri dari dunia dan melihat Fuller Seminary sebagai lembaga pendidikan “yang mengurus soal-soal dogma dan tradisi injili”.

Sebagian lagi berjuang untuk lebih membuka diri kepada tuntutan dan berupaya mengembangkan kurikulum pendidikan untuk menjawab tuntutan masyarakat. Akhirnya kelompok yang disebutkan terakhir ini menang dan beberapa departemen baru dibuka sebagai bagian dari pendidikan Seminary itu. Rencana pelajaran yang tadinya dimonopoli materi biblika dan teologi dirombak dan dirombak. Sebagai akibatnya beberapa departemen baru dibuka seperti : Antropologi dan Komunikasi Lintas Budaya, Psikologi, Pengembangan Masyarakat, dst. Perombakan terhadap kurikulum “tradisional”ini dilaksanakan tetapi tanpa kehilangan jatih diri injili. Dewasa ini teolog-teolog dan pemikir yang menjadi motor perombakan kurikulum sekolah ini dikenal sebagai penganut aliran teologi: Neo-Evangelicalism (Neo-Injili). Sekolah ini dapat dilihat sebagai “lembaga adat yang transformatif”.

Terakhir kami tampilkan visi seorang pastor yang melihat pendidikan sebagai lembaga adat yang transformatif. Pastor Fransiscus Van Lith lahir di Oirschot, Belanda datang ke Jawa 1896 dan meninggal dunia di Semarang kemudian dikuburkan di Muntilan pada tahun 1926. Bagi pastor ini Iman kepada Kristus itu ialah dasar pemikiran dan kehidupan. Orang tidak mungkin hidup tanpa Iman. Tetapi baginya penghayatan Iman itu harus mendapat wujud dan karya nyata melalui lembaga pendidikan yang dibinanya dengan tujuan untuk menghasilkan pelaku-pelaku perubahan social.

Visinya tentang misi dari lembaga pendidikan itu diungkapkan melalui pengamatan berikut: pada suatu hari Van Lith melihat seorang murid bertindak sebagai komandan barisan di halaman suatu sekolah. Murid itu memberi aba-aba tegas dan teman-temannya menjalankan perintahnya secara tertib dan teratur. Hal semacam itu tidak biasa pada orang Jawa golongan tua. Pada waktu itu ia berpikir: “beginilah perubahan mentalitas orang Jawa, berkat pendidikan”. Artinya menurut Van Lith pemikiran dan budaya orang Jawa dapat diubah dengan pendidikan. Dengan pandangan seperti itu, Van Lith Membennahi kurikulum sekolah guru ( Kweekschool) yang diasuhnya. Salah satu langkah yang diambil pada waktu itu ialah memasukan pelajaran bahasa asing: bahasa Belanda yang dianggapnya sebagai faktor penting. Kemampuan berbahasa Belanda dilihatnya sebagai kunci untuk mengadakan perubahan sosial. Dengan kemampuan berbahasa itu katanya orang Jawa akan dapat semakin mengerti perkembangan barat dan semakin ikut ambil bagian dalam kakuasaan. Dengan perkataan lain orang Jawa akan turut menentukan masa depan dan pemerintahan menuju pemerintahan yang berdiri sendiri.

Kemampuan berbahasa Belanda merupakan sarana untuk memasuki kebudayaan Belanda. Kebudayaan luar disatu pihak dibenci dan dilain pihak tidak didewakan. Kebudayaan luar dipakai sebagai sarana pembanding bagi pengembangan kebudayaan sendiri. Kebudayaan sendiri ditumbuhkan dan dihidupkan dengan dirangsang dan dibuahi dari luar. Dengan membandingkan kebudayaannya sendiri dengan kebudayaan asing diharapkan, bahwa orang Jawa dibangkitkan untuk menghidupkan kembali kebudayaan timur yang khas. (lihat J.B. Banawiratma, Iman, Pendidikan dan Perubahan Sosial, 1991).

Setelah 10 tahun ini, mugkinkah STT Walter Post Jayapura menjadi lembaga adat yang transformatif? Atau dengan perkataan lain “apakah mungkin wadah pendidikan ini menjadi lembaga pendidikan teologi yang mempunyai misi dan orientasi mengadakan perubahan sosial sambil mempertahankan jath dirinya sebagai lembaga pendidikan injili ?

Kepustakaan:


Banawiratma. Iman, Pendidikan dan Perubahan Social, Yogyakarta: Kanisius, 1999

Bijkerk. Pamai, dalam F.C.Kamma, Kruis en Korwar. Den Haag: Voorhoeve, 1953

Marsden, G. Reforming Fundamentalism, Fuller Seminary and the New Evangelicalism. Grand Rapids: Eerdmans, 1987

……….., Fundamentalism and American Culture. Oxford: oxford University Press. 1982



Diambil dari Bulletin Deiyai no. 5/ thn.1/Mei-Juni 1996. Hal.13-19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar