Rabu, 02 Desember 2009

MENGUAK MISTERI DiSEBERANG GIGA PROYEK MAMBERAMO

Oleh: Dr.Karel Phil Erari

Bagi anak-anak sekolah rakyat (SD) kelas 4-6 di Papua, pada jaman Belanda, sudah diajarkan bahwa sungai Mamberamo adalah amazone asia. Selain karena sungai ini merupakan sungai terbesar di Asia, sungai raksasa itu menyimpan sejuta rahasia alam. Kendati tidak terdapat ikan pemangsa manusia, seperti yang terdapat di Amozone, tetapi yang menjadi kekhasan Mambermo adalah buaya. Buaya berbintang lima yang tidak ada di belahan bumi lainnya, kecuali di Bumi Cenderawasih. Konon, Mamberamo memiliki jutaan kakayaan alam, dari buaya berbintang lima tadi sampai ke jenis anggrek merah yang hanya terdapat di Brazil dan Papua. Tepat 10 tahun yang lalu WWF telah mengusulkan supaya Taman Nasional Mamberamo yang meliputi 1.442.500 ha itu menjadi reservet terbesar kedua di Indonesia.
Di kawasan ternyata terdapat kekayaan biodiversitas yang sangat mengagumkan. Ia mengandung aneka habitat yang belum pernah terusik. Dari jutaan hektar hutan sagu yang terhampar luas disebela selatan Waropen hingga pedalaman wilayah Sarmi dengan kombinasi hutan bakau dan bobo tanaman sejenis enau rawa. Hampir dapat dipastikan bahwa Mamberamo merupakan gudang alternative pangan sagu di abad 21. Kawasan sungai Mamberamo adalah hutan daratan daerah yang bersentuhan dengan zona pegunungan dimana terdapat anak sungai: Indenburg dan Roffair.
Sungai yang berwarna coklat abadi itu, ibarat emas yang tak akan pernah habis ditambang. Ia memiliki kekuatan alam yang memang tak bisa dilawan oleh siapa pun karena bagi masyarakat setempat mamberamo adalah “ sang ibu” yang setia menyediakan makanan bagi anak-anaknya. Mamberamo menyimpan binatang mamalia yang beraneka ragam sejumlah 100 jenis dan 330 jenis burung. Di waktu yang lalu burung-burung tertentu seperti kakatua raja dan nuri menjadi sasaran perburuan pedagang asal BBM ( Buton, Bugis dan Makasar). Begitu larisnya sehingga sejumlah anak-anak SD dilaporkan pernah menjual satu ekor burung cenderawasih kepada guru untuk memperoleh ijazahnya, tanpa harus mengikuti ujian.
Di kawasan yang penuh dengan 12 jenis rotan kualitas ekspor itu, terdapat kangguru dan kuskus yang masih ramah terhadap manusia. Suatu kondisi harmonis antara alam dan manusia seperti ini mengundang banyak pihak untuk menjadikan tempat ini sebagai warisan pusaka dunia.

Pemilik
Mambermo yang dikenal sebagai kawasan yang kaya mineral dan sumber daya alam dengan jenis tambang seperti minyak, emas, tembaga, cobalt, timah, uranium, dll. Itu kini menjadi salah satu target pembagunan KTI. Pada saat kunjungan kanselir Helmut Khol akhir tahun 1996, nama Mamberamo tampil sebagai suatu medan bisnis yang dipertaruhkan antara Indonesia dan Jerman. Berbagai usaha untuk membangun Mamberamo sementara berjalan dan setiap orang ingin membuktikan bahwa Mamberamo dapat menjadi proyek yang menjanjikan serta merta dapat mengangkat status Indonesia bagian timur, sebagai kontributor terbesar dalam pembagunan iptek skala raksasa. Kata orang, bila Natuna menjadi proyek KBI, maka Mamberamo merupakan saudaranya dibelahan timur. Design proyek Mamberamo yang dirancang antara lain oleh Konsorsium Mamberamo, memperlihatkan betapa dahsyatnya pertumbuhan yang bakal terjadi dikawasan yang berbatasan dengan 4 kabupaten Papua itu.
Disebelah timur kawasan ini menjadi wilayah administrative kabupaten Jayawijaya; di selatan ia bersinggungan dengan kabupaten Jayawijaya dan Puncak Jaya, disebalah barat kawasan ini adalah wilayah potensial dari kabupaten Yapen Waropen. Di utara parairan laut menjangkau wilayah kabupaten Biak Numfor. Bilamana pembangunan DAS Mamberamo kelak menjadi suatu kenyataan, maka wilayah ini akan mengalami suatu perubahan yang luar biasa secara fisik.
Menjadi Pertanyaan bagi kita adalah siapakah yang menjadi pemilik proyek raksasa ini. Pertanyaan ini tentu akan dijawab dengan gampang, bahwa pengembangan DAS Mamberamo adalah milik bangsa. Bahkan proyek ini akan serentak mengangkat peranan KTI bagi pembangunan bangsa. Walaupun tak bisa di sangkal bahwa pihak pengelolah akan lebih besar peranannya untuk menentukan nasib giga proyek ini. Rakyat setempat tentu akan menghadapi kehadiran proyek ini dengan sejumlah pertanyaan. Bilamana sungai Mamberamo secara mitologis dihormati sebagai “sebagai ibu kandung” maka sentuhan mesin industri harus memperhitungkan reaksi budaya, bila mana perlakuan atas “ibu kandung” orang mamberomo itu kelak mematikan sumber hidup penduduk. Bilamana hutan-hutan sagu dibabat dan sungai Mamberamo disulap oleh iptek menjadi sumber energi untuk berbagai kawasan industri sambil membiarkan rakyat manjadi penonton, maka bersiap-siaplah kita untuk menghadapi tantangan dari suara budaya setempat.
Orang Mamberamo, baik mereka yang menghuni daratan rendah dengan kultur sagu dan perahu maupun kelompok suku dataran tinggi adalah pemilik sungai Mamberamo. Pihak gereja sudah bertahun-tahun bergumul dengan kondisi sosial budaya serta agama adat penduduk, sangat memahami hubungan rakyat dengan sungai Mamberamo. Dalam era pembangunan yang kan menguras sumber daya alam secara habis-habisan, di mana rakyat yang akan menjadi asing dirumahnya sendiri.
Sinyal-sinyal seperti itu kiranya mengundang kita untuk merencanakan segala rencana pembangunan, kembali diatas kepentingan bangsa. Dan bila itu adalah demi masa depan bangsa Indonesia maka rakyat Mamberamo yang jumlahnya 50 ribu jiwa itu adalah juga bangsa Indonesia. Nasib dan masa depannya ada ditangan kita.

Belajar dari Freeport
Alasan konflik yang terjadi antara suku Amungme Kamoro dengan PT.Freeport Indonesia sejak 1971 hingga sekarang ini telah justru karena Erstberg dan kini Grassberg, adalah kepala sang mama orang Amungme. Kepala sang mama disaksikan telah dirusak, digerogoti dan dibinasakan oleh mesin-mesin raksasa. Rakyat yang sejak semula merasa hak-hak adatnya dimanipulasi oleh orang-orang luar, bangkit dan melakukan “perang budaya”. Perang yang intinya menuntut penghormatan terhadap budaya orang Amungme yang sementara dimatikan secara sistematis dan berkelanjutan oleh PT.Freeport. Dari studi antropologis yang dilakukan saya temui bahwa selama konflik Amungme Freeport dijawab diluar mekanisme budaya dan suara rakyat maka solusi apapun tak bisa mengakhiri konflik tersebut.
Perang budaya ini akan tetap berlanjut, sampai semua pihak harus mengakui bahwa orang Amungme dan Kamoro adalah pemiliki tetap tanah pertambangan, dan perusahaan harus dapat menjawab pertanyaan budaya orang Amungme. Bagaimana mengembalikan kehidupam bagi mama kandung yang bagi mereka sudah diperkosa. Pengalaman pahit yang terjadi dikawasan pengunungan tengah itu kembali diuji di suatu kawasan baru. Akankah pihak pengelola DAS Mamberamo belajar dari PT.Freeport, bahwa rakyat tak bisa dipandang sebagai pihak yang tak berhak dan tak punya hak lagi, segera setelah “suatu izin dan kontark kerja” ditandatangani. Sadaralah kita bahwa secara antropologis dan budaya Melanesia, seluruh tanah di Papua adalah pemilik suku-suku yang mendiami wialyah itu. Tidak ada no man’s land di Papua. Karena setiap gunung, lembah, danau dan sungai mempunyai hubungan spiritual dengan manusia sekitarnya. Orang Baudi di dataran Mamberamo dan kelompok suku yang mendiami DAS Mamberamo terikat secara spiritual dengan sungai Mamberamo. Ibarat makna sungai Nil di Mesir yang merupakan representasi dewi kesuburan bangsa Mesir.
Pengunaan UUD 45 pasal 33 tentang seluruh kekayaan adalah dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan bangsa, harus ditafsirkan juga dari sudut kepentingan rakyat setempat yang adalah juga bangsa Indonesia. Sudah waktunya kita butuhkan suatu pendekatan regional dan pendekatan kontekstual dalam menafsirkan makna pasal 33 diatas. Karena justru jika kepentingan lokal yang semakin besar diberikan, akan memperkuat kepentingan seluruh bangsa. Penafsiran yang berat sebelah selama ini, sebetulnya menjadi sebab musabab mengapa Jakarta semakin terang benderang, dan macet total di bidang lalu lintas jalan raya, sementara daerah-daerah periferi republik ini semakin tertinggal. Dengan jalan-jalan yang rusak berat serta fasilitas perhubungan lainnya yang memprihatinkan.

Peran Gereja
Penduduk dikawasan ini hampir 90% hidup dalam asuhan Gereja antara lain Greja Kristen Injili Papua. Ikatan batin dan pertautan rohani yang sudah bertahun-tahun itu merupakan suatu fenomena khusus. Bahwa setiap bentuk pembangunan yang mengingkari peranan gereja akan mengalami kendala yang serius. Rakyat yang memiliki kepekaan yang mendalam secara rohani itu, akan mempertanyakan peranan gereja dalam pembangunan lingkungannya. Gereja tak bisa dipandang sebagai apendiks dari suatu perencanaan pembangunan. Suara gereja adalah suara budaya setempat. Kehadiran pihak luar dengan kayakinan iman yang berbeda pasti akan diterima sebagai saudara, asalkan tidak mengusik kepercayaan adat dan iman nasraninya.
Dengan menitik-beratkan peranan gereja ini, kita sekaligus diajak untuk melakukan refleksi secara sungguh-sungguh bahwa pembangunan apa pun yang tidak memperhitungkan peranan agama akan gagal, apalagi jika norma ekonomi menjadi satu-satunya standar pengambilan keputusan.

Diambil oleh redaksi blog ini dari Buletin Deiyai No.4/Thn.II/Maret-April/1997. hal.9-12.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar